SEMINAR NASIONAL ETNOPEDAGOGI
IMPERIAL HOTEL
KENDARI
2017
MENEGAKKAN HUKUM YANG RESPONSIF DI INDONESIA
DR. MUH YUSU FATTAH M.Hum
Abstrak
Hukum merupakan aspek atau sendi terpenting dalam kehidupan masyarakat yang beradab. Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (UUD 1945 pasal 1 ayat (3)) dan segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan (UUD 1945 pasal 27 ayat (1)), sehingga hukum harus ditegakkan untuk mewujudkan keadilan, kepastian, dan kegunaan hukum untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Keyword : Hukum responsif
A. Latar Belakang
Hukum merupakan aspek atau sendi terpenting dalam kehidupan masyarakat yang beradab. Masyarakat yang beradab memerlukan pengorganisasian sehingga tercipta keteraturan untuk mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan. Salah satu organisasi yang utama dalam mayarakat adalah pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan lembaga negara. Negara bekerja berdasarkan hukum dengan tujuan (purpose of law) menurut Achmad Ali untuk mewujudkan 3 hal yaitu kepastian (certainy), keadilan (justice), and kemanfaatan (usefulness), dan terhindarnya dari 2 hal yaitu pembelokan tujuan (goal displacement) dan atau pembelokan tujuan (goal subtitution).
Hukum diadakan manusia pada hakikatnya adalah untuk melindungi kepentingan manusia itu sendiri, hukum merupakan pedoman tentang bagaimana sepatutnya orang harus bertindak. Hukum harus diataati, dilaksanakan, dipertahankan dan ditegakkan (inti hukum). Ketertiban dan ketentraman hanya dapat diwujudkan dalam kenyataan kalau hukum dilaksanakan. Kalau tidak, maka peraturan hukum itu hanya merupakan susunan kata-kata yang tidak mempunyai makna dalam kehidupan masyarakat (Law in boks and law in action). Peraturan hukum dalam buku akan menjadi mati sendiri jika tidak ditegakkan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung dalam masyarakat secara normal karena tiap-tiap individu menaati dengan kesadaran, bahwa apa yang ditentukan hukum tersebut sebagai suatu keharusan atau sebagai sesuatu yang memang sebaiknya.
Hukum diciptakan untuk dilaksanakan. Hukum tidak bisa lagi disebut sebagai hukum, apabila tidak pernah dilaksanakan. P. De Haan, dkk. Menguraikan pandangan bahwa penegakan hukum administrasi sering kali diartikan sebagai penerapan sanksi. Sanksi merupakan penerapan alat kekuasaan sebagai reaksi atas pelanggaran norma hukum. Hukum mempunyai fungsi untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia (seluruh manusia tanpa terkecuali). Oleh karenanya memaksa hukum itu harus ditegakkan untuk melindungi kepentingan manusia tersebut. Dalam pelaksanaannya, hukum dapat berlangsung secara normal dan damai, akan tetapi dapat juga terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum dalam prakteknya. Hukum yang berjalan secara normal telah tegak, tetapi hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan.
Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Proses perwujudan ide-ide itulah yang merupakan hakikat dari penegakan hukum. Sedangakan menurut Soerjono Soekanto penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan perdamaian dan pergaulan hidup.
Secara khusus, P. Dehaan, dkk. Menguraikan pandangan bahwa penegakan hukum sering kali diartikan sebagai penerapan sanksi. Sanksi merupakan penerapan alat kekuasaan sebagai reaksi atas pelanggaran norma hukum.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan, bahwa penegakan hukum hakikatnya merupakan upaya menyelaraskan nilai-nilai hukum dengan merefleksikan di dalam bersikap dan bertindak di dalam pergaulan demi terwujudnya keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan dengan menerapkan sanksi-sanksi.
Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke-3 secara tegas mengatur dalam pasal 1 ayat (3) UUD1945 : Negara Indonesia adalah Negara hukum, artinya, Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan (machstaat), dan pemerintah berdasarkan sistem konsitusi (hukum dasar), bukan absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Pasal 27 ayat (1) segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Pertanyaan yang meliputi sistem hukum yang berlaku di negara kita yaitu apakah hukum tersebut sesuai dengan karakter bangsa Indonesia? Apakah para pelaku hukum mengetahui ganjaran setiap tindakan penyelewengan yang mereka lakukan? Atau apakah ganjaran dari sistem hukum tersebut yang kurang tegas untuk mengatasi berbagai macam permasalahan tindak pidana?
Tujuan adanya hukum adalah untuk mewujudkan ketertiban, ketentraman, kedamaian, kesejahteraan, dan kebahagiaan dalam tata kehidupan bermasyarakat. Dengan adanya hukum maka tiap perkara dapat diselesaikan melalui proses pengadilan dengan perantara hakim berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, selain itu hukum bertujuan untuk menjaga dan mencegah agar setiap orang tidak dapat menjadi hakim atas dirinya sendiri maupun orang lain. Namun bagaimana jika masih banyak masyarakat yang merasa bahwa penegakan hukum di Indonesia belum dijalankan secara adil? Maka dengan ini penulis mengambil judul “Ketidakmerataan Hukum Antara Rakyat Kecil dan Para Petinggi Di Indonesia“.
B. METODOLOGI
Metode pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah deskriptif analisis yang menjelaskan dan menganalisis masalah dilakukan dengan cara Pendekatan Yuridis Normatif, yaitu menelaah kaedah-kaedah atau norma- norma dan aturan-aturan yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas. Data yang digunakan dalam menunjang penelitian adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang didapat dari peraturan perundang- undangan yang berlaku dari literatur, jurnal, laporan dan informasi resmi lembaga negara maupun yang diakses melalui internet dan teori-teori yang ada dalam literatur yang berkaitan dengan penegakan hukum dalam masyarakat. Selain data sekunder, penulis mempergunakan data empiris dengan cara mengamati kesadaran hukum masyarakat dan pelaksanaan penegakan hukum dalam masyarakat. Tindak lanjut dari pengum- pulan dan pengelolaan data, dilaku- kan analisis data secara kualititif yaitu dengan memberikan arti dan kemudian diuraikan dengan kalimat perkalimat secara jelas serta dihubungkan untuk menjawab permasalahan yang ada untuk ditarik kesimpulan sehingga dapat memberi- kan gambaran secara umum terhadap permasalahan yang dibahas
C. Menegakkan Hukum
1. Pengertian penegakan Hukum
Hukum pada hakikatnya adalah upaya melindungi kepentingan manusia yang merupakan pedoman tentang bagaimana sepatutnya orang harus bertindak secara pasti adil dan bermanfaat. Akan tetapi hukum tidak sekedar merupakan pedoman belaka, perhiasan atau dekorasi. Hukum harus ditaati, dilaksanakan, dipertahankan dan ditegakan.
Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaidah-kaidah/pandangan nilai yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Penegakan hukum secara konkret adalah berlakunya hukum positif dalam praktik sebagaimana seharusnya patut dipatuhi. Oleh karena itu, memberikan keadilan dalam suatu perkara berarti memutuskan hukum in concreto dalam mempertahankan dan menjamin di taatinya hukum materiil dengan menggunakan cara procedural yang ditetapkan oleh hukum formal
Menurut Satjipto Raharjo penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penegakan ide-ide atau konsep-konsep tentang keadilan, kebenaran, kemamfaatan sosial, dan sebagainya. Jadi Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide dan konsep-konsep tadi menjadi kenyataan. Penegakan Hukum. Dalam bahasa Indonesia dikenal beberapa istilah di luar penegakan hukum tersebut, seperti “penerapan hukum”. Tetapi tampaknya istilah penegakan hukum adalah yang paling sering digunakan dan dengan demikian pada waktu mendatang istilah tersebut akan semakin mapan atau merupakan istilah yang dijadikan.
Dellyana, Shant, menuliskan, bahwa penegakan hukum dibedakan menjadi dua ditinjau dari sudut subyeknya: (1) Dalam arti luas, proses penegakkan hukum melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normative atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, penegakkan hukum hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. (2) Ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya: Dalam arti luas, penegakkan hukum yang mencakup pada nilai-nilai keadilan yang di dalamnya terkandung bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang ada dalam bermasyarakat. Dalam arti sempit, penegakkan hukum itu hanya menyangkut penegakkan peraturan yang formal dan tertulis.
Joseph Goldstein (Dellyana, Shant) membedakan penegakan hukum pidana menjadi 3 bagian yaitu: (1) Total enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif (subtantive law of crime). Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin dilakukan sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana yang antara lain mencakup aturan-aturan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan pendahuluan. Disamping itu mungkin terjadi hukum pidana substantif sendiri memberikan batasan-batasan. Misalnya dibutuhkan aduan terlebih dahulu sebagai syarat penuntutan pada delik-delik aduan (klacht delicten). Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut sebagai area of no enforcement. (2) Full enforcement, setelah ruang lingkup penegakan hukum pidana yang bersifat total tersebut dikurangi area of no enforcement dalam penegakan hukum ini para penegak hukum diharapkan penegakan hukum secara maksimal. (3) Actual enforcement, menurut Joseph Goldstein full enforcement ini dianggap not a realistic expectation, sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi, dana dan sebagainya, yang kesemuanya mengakibatkan keharusan dilakukannya discretion dan sisanya inilah yang disebut dengan actual enforcement.
2. Ketidakpuasan Masyarakat Terhadap Penegakan Hukum di Indonesia
Ketidakpuasan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia ini merupakan fakta dan data yang ditunjukkan dari hasil survei terhadap masyarakat oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang menyebutkan bahwa 56,0 persen publik menyatakan tidak puas dengan penegakan hukum di Indonesia, hanya 29,8 persen menyatakan puas, sedangkan sisanya 14,2 persen tidak menjawab. Mereka yang tak puas terhadap penegakan hukum di Indonesia merata di semua segmen. Mereka yang tinggal di kota maupun desa, berpendidikan tinggi maupun rendah, mereka yang berasal dari ekonomi atas maupun ekonomi bawah.
Namun demikian, mereka yang tinggal di desa, berasal dari ekonomi bawah, dan berpendidikan rendah lebih tak puas jika dibandingkan dengan mereka yang berada di kota dan berpendidikan tinggi. Hal ini disebabkan karena mereka yang berada di desa dan kelompok ekonomi bawah lebih sering menghadapi kenyataan merasa diperlakukan tidak adil jika berhadapan dengan aparat hukum. Ketidakpuasaan responden terhadap penegakan hukum di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun yaitu 37,4 persen (Survei LSI Januari 2013), sebesar 41,2 persen (Oktober 2010), sebesar 50,3 persen (September 2011), sebesar 50,3 persen (Oktober 2012), dan terakhir 56,6 persen (April 2013) (http://www.lsi.or.id/riset/). Bahkan Tribunnews.com Minggu, 7 April 2013 pkl. 13:15 WIB menuliskan Sudrajat Sacawisastra (Direktur eksekutif INES {Indonesia Network Elektronik Survey} bertema survei elektabilitas parpol dan capres jelang pemilu 2014 di Cava Café : 72,3 % responden tidak puas terhadap kinerja penegakan hukum dan pemberantasan korupsi oleh penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan, Polisi, Kehakiman.
Uraian di atas menunjukkan betapa prihatinya wajah hukum di Indonesia. Yang tidak mendapatkan sorotan adalah lembaga pemasyarakatan karena tidak banyak orang yang mengamatinya. Lembaga yang seharusnya berperan dalam memulihkan sifat para warga binaan (terpidana) ternyata tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Jumlah narapidana yang melebihi dua kali lipat dari kapasitasnya menjadikan nasib narapidana juga semakin buruk. Mereka tidak tambah sadar, tetapi justru belajar melakukan tindak pidana baru setelah berkenalan dengan narapidana lainnya. Tentunya ini jauh dari konsep pemidanaan yang sesungguhnya bertujuan untuk merehabilitasi terpidana. Bahkan fakta yang ada hari ini, beberapa narapidana dengan leluasanya membuat “aturan” sendiri dengan merubah hotel prodeo tersebut menjadi hotel bak bintang lima dan kejahatan narkoba. Oleh karena itu, akibat-akibat yang ditimbulkan dari masalah penyelewengan hukum tersebut diantaranya dapat berupa :
1. Ketidakpercayaan masyarakat pada hukumsemakin memudar
Masyarakat berpendapat (a) hukum banyak merugikan mereka, terlebih lagi soal materi sehingga mereka berusaha untuk menghindarinya. (b) Uanglah yang berbicara, dan dapat meringankan hukuman mereka, fakta-fakta yang ada diputar balikan dengan materi yang siap diberikan untuk penegak hukum. (c) adanya kepercayaan bahwa kasus-kasus korupsi di Indonesia semakin besar/tinggi (melibatkan orang berduit, berkedudukan) semakin tidak terselesaikan secara tuntas karena yang terlibat di dalamnya mempermainkan hukum dengan menyuap sana sini agar kasus ini tidak terungkap.
2. Masyarakat kehilangan jati diri (pemaaf, tolong-menolong, gotong royong, sosial tinggi) menjadi penyelesaian konflik dengan kekerasan
Penyelesaian konflik dengan kekerasan LSI (Kompas.com 7-4-2013) 30 % publik setuju main hakim sendiri. contohnya ialah pencuri ayam yang dipukuli warga, pencuri sandal yang dihakimi warga. Konflik yang terjadi di sekelompok masyarakat di Indonesia banyak yang diselesaikan dengan kekerasan, seperti kasus tawuran antar pelajar, tawuran antar suku yang memperebutkan wilayah, atau ada salah satu suku yang tersakiti sehingga dibalas degan kekerasan. Mereka tidak mengindahkan peraturan-peraturan kepemerintahan, dengan masalah secara geografis, mereka. Memunculkan prinsip yang salah : “darah bayar darah” dan sifat dendam. Ini membuktikan masayarakat Indonesia yang tidak tertib hukum, seharusnya masalah seperti maling sandal atau ayam dapat ditangani oleh pihak yang yang berwajib, bukan dihakimi secara seenakanya, bahkan dapat menghilangkan nyawa seseorang.
3. Pemanfaatan Inkonsistensi Penegakan Hukum untuk Kepentingan Pribadi.
Dari beberapa kasus di Indonesia, banyak warga Negara Indonesia yang memanfaatkan inkonsistensi penegakan hukum untuk kepentingan pribadi. Contohnya ialah pengacara yang menyuap polisi ataupun hakim untuk meringankan terdakwa, sedangkan polisi dan hakim yang seharusnya bisa menjadi penengah bagi kedua belah pihak yang sedang terlibat kasus hukum bisa jadi lebih condong pada banayknya materi yang diberikan oleh salah satu pihak yang sedang terlibat dalam kasus hukum tersebut.
4. Penggunaan Tekanan Asing dalam Proses Peradilan
Dalam hal ini kita dapat mengambil contoh pengrusakan lingkungan yang diakibatkan oleh suatu perusahaan asing yang membuka usahanya di Indonesia, mereka akan minta bantuan dari negaranya untuk melakukan upaya pendekatan kepada Indonesia, agar mereka tidak mendapatkan hukuman yang berat, atau dicabut izin memproduksinya di Indonesia (Supriadi, 2008: 312)
…Mereka heran ketika melihat bahwa hukum tidak selalu dapat dilihat sebagai penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak masyarakat, atau penjamin keadilan. Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak mempan memotong kesewenang-wenangan, tidak mampu menegakkan keadilan dan tidak dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti dalam menyelesaikan berbagai kasus yang seharusnya bisa dijawab oleh hukum. Bahkan banyak produk hukm yang lebih banyak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan. (Mahfud MD, 2001 :1)
3. Upaya Dalam Menegakkan Hukum yang Responsif
Menyimak hasil survei terbaru dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan INES menyebutkan bahwa 56,0 persen publik menyatakan tidak puas dengan penegakan hukum di Indonesia, hanya 29,8 persen menyatakan puas, sedangkan sisanya 14,2 persen tidak menjawab. Sebuah fenomena yangmenggambarkan betapa rendahnya wibawa hukum di mata publik.
Jhon Locke dalam karyanya “Second Tratise of Government”, telah mengisyaratkan tiga upaya minimal bagi suatu Negara hukum, sebagai berikut : (1) Adanya hukum yang mengatur bagaimana anggota masyarakat dapat menikmati hak asasinya dengan damai; (2) Adanya suatu badan yang dapat menyelesaikan sengketa yang timbul di bidang pemerintahan; (3) Adanya badan yang tersedia diadakan untuk penyelesaian sengketa yang timbul di antara sesama anggota masyarakat.
Penegakan hukum (law enforcement) sebagai bagian dari yurisdiksi negara, berisikan tentang beberapa hal, antara lain: (1) Wewenang membuat aturan-aturan hukum umtuk mengatur berbagai Kepentingan nasional (jurusdiction of legilation atau jurisdiction of law) (2) Wewenang menegakan aturan hukum yang berlaku (jurisdiction to enforceof law).
Menurut Satjipto Rahardjo adalah sangat bertumpu pada prosedur, dengan perkataan lain adalah, ciri penting dari hukum modern adalah bekerja secara prosedural, kalaulah hukum itu dianggap sebagai institusi oleh masyarakat yang ditugasi memberikan keadilan (dispending justice), maka caranya adalah dilakukan secara prosedural.
Menurut Soerjono Soekanto, hukum dapat berfungsi dengan baik diperlukan keserasian dan hubungan antara empat faktor, yakni: (1) Hukum dan peraturan itu sendiri. Kemungkinannya adalah bahwa terjadi ketidak cocokan dalam peraturan perundang-undangan mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu. Kemungkinan lainnya adalah ketidakcocokan antara peraturan perundang-undangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Kadangkala ketidakserasian antara hukum tertulis dengan hukum kebiasaan, dan seterusnya. (2) Mentalitas Petugas yang menegakkan hukum. Penegak hukum antara lain mencakup hakim, polisi, jaksa, pembela, petugas pemasyarakatan, dan seterusnya. Apabila peraturan perundang-undangan sudah baik, akan tetapi jika mental penegak hukum kurang baik, maka akan terjadi pada sistem penegakkan hukum. (3) Fasilitas yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan hukum. Kalau peraturan perundang-undangan sudah baik dan juga mentalitas penegaknya baik, akan tetapi fasilitas kurang memadai, maka penegakkan hukum tidak akan berjalan dengan semestinya. (4) Kesadaran dan kepatuhan hukum dari para warga masyarakat.
Untuk lebih memotivasi kinerja aparatur hukum sendiri menurut Chryshnanda DL, seorang penegak hukum harus memiliki : (1) Motivasi intrinsik, yaitu motivasi yang muncul dari isi jabatan atau pekerjaan yang mencakup faktor tanggung jawab, kebebasan untuk bertindak untuk mengembangkan keterampilan dan kemampuan, pekerjaan dan peluang menarik pekerjaan untuk mencapai peningkatan. (2) Motivasi entrinsik, motivasi yang berasal dari daya tarik setelah pekerjaan selesai dan orang yang memotivasinya. Motivasi ini muncul apabila manajemen memberi kenaikan imbalan, pujian atau promosi. Tujuan dari motivasi itu sendiri adalah bertujuan untuk mencakup aspek nonfinancial para aparatur penegak hukum itu sendiri dalam hal ini adalah aspek : (a) Aspek kebutuhan dikarenakan bahwa perilaku yang didorong oleh kebutuhan yang tidak terpuaskan hal ini berkaitan dengan prestasi, pengakuan, tanggung jawab, pengaruh dan pengembangan pribadi. Untuk itu diperlukan standar pemasukan, pengeluaran, proses pekerjaan, formalisasi tugas yang jelas. (b) Aspek tujuan berkenaan dengan pencapaian hasil kerja, (c) Aspek penguatan adalah keberhasilan dalam pekerjaan mencapai suatu tujuan dan imbalan merupakan insentif positif dalam memperkuat perilaku dan akan berulang jika mencapai hasil yang sama. (d) Teori harapan adalah seorang individu akan termotivasi untuk merubah perilakunya dan merasa yakin jika berubah dan mendapatkan imbalan. (e) Teori atribut berkaitan dengan penafsiran dan penjelasan atas keberhasilan dan kegagalannya. (f) Keyakinan kemampuan diri adalah keyakinan akan kemampuan diri sendiri dalam melaksanakan tugas, yang dipelajari dalam kehidupan sosial.
Ketika hukum yang ditegakkan menciderai rasa keadilan, baik keadilan menurut pandangan yuridis maupun keadilan menurut masyarakat. menjadi salah satu pemicu ketidakpercayaan masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam menegakan hukum di tengah masyarakat. Walaupung disadari bahwa keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum untuk semua bukanlah perkara mudah untuk mewujudkannya. Namun minimal ketiga hal tersebut menjudi tujuan, bukan yang terjadi goal displacemen (pembelokan tujuan hukum) dan atau goal subtitution (penggantian tujuan hukum)
Secara sosiologi hukum dua faktor yang paling menonjol yang mempengaruhi aparat penegak hukum dalam menegakan hukum yaitu faktor internal (yang berasal dari penegak hukum berpedoman pada undang-undang semata) dan eksternal (yang berasal dari luar penegak hukum itu sendiri) misalnya ketika terjadi peristiwa hukum adanya kecenderungan masyarakat yang menyelasaikan dengan caranya sendiri, mendahului putusan hakim.
Hukum haruslah ditegakkan secara melembaga, sehingga para pencari keadilan dan kepastian hukum (masyarakat dan penegak hukum) haruslah kelakuannya melembaga secara hukum tanpa kecuali dengan alasan apapun. Idealnya, lembaga hukum tidak boleh sedikitpun goyah dalam menerapkan keadilan dan kepastian yang didasarkan atas asas hukum kaidah hukum aturan hukum (tertulis dan tidak tertulis/perturan) dalam pelaksaan hukum yang telah disepakati bersama baik tanpa sengketa maupun dalam sengketa. Hukum haruslah menjamin terwujudnya rasa keadilan dapat dijalankan secara murni dan konsekuen untuk seluruh rakyat tanpa membedakan asal-usul, warna kulit, kedudukan, keyakinan dan lain sebagainya. Jika keadilan sudah tidak ada lagi maka masyarakat akan mengalami ketimpangan. Oleh karena itu, lembaga hukum dalam masyarakat madani harus menjadi tempat mencari keadilan. Hal ini bisa diciptakan jika lembaga hukum tersebut dihormati, dijaga dan dijamin integritasnya secara konsekuen (Miftah, 2003: 218).
Jika potret penegakan hukum di Indonesia baik tanpa sengketa maupun dalam sengketa (besar, sedang, maupun besar) yang melibatkan rakyat kecil (miskin dan pegawai rendahan), orang besar (kaya dan penguasa/pegawai tinggi) aparat penegakkan hukum tanggapnya sama, maka pasti tidak akan menciderai hati/rasa keadilan hukum rakyat (kecil, sedang, besar/penguasa), maka rakyat terutama rakyat kecil tidak akan frustasi dalam mencari keadilan dan kepastian hukum. Tetapi jika yang terjadi para penegak hukum yang nyatanya lebih memihak pada golongan berduit. Sehingga orang sering menggambarkan kalau hukum Indonesia seperti jaring laba-laba yang hanya mampu menangkap hewan-hewan kecil, namun tidak mampu menahan hewan besar tetapi hewan besar tersebutlah yang mungkin menghancurkan seluruh jaring laba-laba (Jimly, 2011: 156).
Problematika penegakan hukum yang mengandung unsur ketidakadilan mengakibatkan adanya isu mafia peradilan, keadilan dapat dibeli, munculnya bahasa-bahasa yang sarkastis dengan plesetan HAKIM (Hubungi Aku Kalau Ingin Menang), KUHAP diplesetkan sebagai Kurang Uang Hukuman Penjara, UUD (Ujung-Ujungnya Duit) tidaklah muncul begitu saja. Kesemuanya ini merupakan “produk sampingan” dari bekerjanya lembaga-lembaga hukum itu sendiri. Ungkap-ungkapan ini merupakan reaksi dari rasa keadilan masyarakat yang terkoyak karena bekerja lembaga-lembaga hukum yang tidak profesional maupun putusan hakim/putusan pengadilan yang semata-mata hanya berlandaskan pada aspek yuridis. Berlakunya hukum di tengah-tengah masyarakat, mengemban tujuan untuk mewujudkan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan dan pemberdayaan sosial bagi masyarakatnya. (Erlykera tinga reda treftlykera ting bieda urbieda dat unriucht hinzia moetlykera ting ende aec behvilen oenmoetlykera ting truch fruchta des era = hukum memerintahkan apa yang patut, menyuruh apa yang baik, melarang apa yang tidak adil, membolehkan apa yang adil dan kadang-kadang juga apa yang tidak adil, karena takut akan hal-hal yang lebih buruk).
Didalam menegakkan hukum, para penegak hukum haruslah memiliki atribut menurut Leopold Pospisil : (1) Atribut of authority, (2) Atribut of intention of universal application, (3) Atribut of obligation, (4) Atribut of sanction. Salah satu fungsi hukum adalah pemecahan masalah atau konflik disamping fungsi lain yaitu sebagai alat menurut Achmad Ali dalam bukunya yang berjudul Pengadilan dan Masyarakat. Menurut beliau hukum sebagai kenyataan dapat dilihat dari dua hal : (1) Memandang hukum dalam iteraksinya dengan sektor kemasyarakatan lain misalnya kultur, ketertiban, politik, kekuasaan, ekonomi, pendidikan, pers, agama, dan lain-lain. (2) Manusia dalam dimensi sosialnya : (a) Order (ketertiban), (b) Social system (sistem sosial), (c) Social institution (lembaga sosial), (d) Social control (kontrol sosial). Oleh karenanya menurut beliau menegakkan hukum harulah memandang dari dua aspek (1) hukum sebagai kaidah (dimensinya lebih sempit) yang melahirkan aturan, misalnya tentang wanprestasi, yang dirugikan menuntut ke pengadilan. (2) hukum sebagai kenyataan (dimensinya lebih luas) yang melahirkan kultur yang dianut oleh masyarakat, misalnya si-B menganut kultur : menggunakan mediator, gugat kepengadilan, penyelesaian kekeluargaan, menggunakan debt collector.
Menurut Yadyn dkk., berbagai realita yang terjadi di era reformasi sampai sekarang terkait dengan penegakan hukum yang terdapat di Indonesia sudah tidak relevan dengan apa yang tertuang dalam kontitusi negara ini. Indonesia dengan berbagai macam problem tentang anarkisnya para penegak hukum, hal ini sudah tidak sesuai dengan apa yang di cita-citakan oleh para pendiri bangsa terdahulu. Berbagai hal sudah bergeser dari amanah konstitusi namun kita tidak sepantasnya untuk menyalahkan sepenuhnya kegagalan tersebut kepada para penegak hukum atau pihak-pihak yang menjalankan hukum karena bagaimana pun masyarakat adalah pemegang hukum dan tempat hukum tersebut berpijak. Semboyan, “Bhineka Tunggal Ika” merupakan entri yang sangat menuju masyarakat kewargaan. Masyarakat kewargaan pertama-tama akan mempersoalkan siapa-siapa yang termasuk kedalam kategori warga atau kewargaan dalam masyarakat. Reformasi hukum hendaknya secara sungguh-sungguh menjadikan “eksistensi kebhinekaan” menjadi agenda dan bagaimana mewujudkan ke dalam sekalian fundamental hukum. Kalau kita belajar dari pengalaman, maka semboyan “Bhineka Tunggal Ika” lebih memberi tekanan pada aspek ”Tunggal”, sehingga memperkosa eksistensi pluralisme. Demi ketunggalan atau kesatuan, pluralisme tidak dibiarkan ada.
Problematika penegakan hukum adalah sangat menarik untuk diangkat dalam berbagai analisis baik secara perorangan maupun melalui seminar, sebab detonator dari semua kekacauan adalah jika hukum tidak tegak, sebab hukum yang tegak itu merupakan sendi utama untuk mewujudkan kepentingan manusia baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan bersengketa. Mahluk hidup pada hakikatnya terutama manusia pada dasarnya memiliki sikap pokok untuk membela hak-hakannya. Manusia butuh keteraturan sebagai prasyarat terwujudnya kedamaian untuk menraih kesejahteraan. Adanya kesadaran dalam pelaksanaaan hukum serta adanya keadilan tanpa memandang suku, agama, ras, serta budaya seperti yang terkandung di dalam pasal 27 ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Beberapa pemecahan dari berbagai problematika penegakan hukum di Indonesia:
1. Sikap dan tindakan para sarjana hukum untuk mewujudkan penegakan hukum yang mengacu pada kehidupan masyarakat.
2. Sikap serta tindakan para penegak hukum untuk mewujudkan penegakan hukum yang mengacu pada asas, kaidah, peraturan, dan rasa keadilan masyarakat.
3. Cara untuk menyelesaikan berbagai masalah mengutamakan non litigasi atau litigasi merupakan jalan terakhir, dengan dilandasi nilai-nilai kejujuran, sadar akan namanya keadilan, serta melakukan proses-proses hukum sesuai dengan aturan yang ada di dalam undang-undang negara kita.
4. Putusan hukum yang ditegakkan merupakan bahan pembelajaran kepada kita semua yang membutuhkan keadilan, kepastian dan kegunaan hukum.
5. Melaksanakan program pembangunan hukum jangka pendek, menengah dan jangka panjang dari semua lini untuk mewujudkan penegakan hukum yang mengacu pada asas, kaidah, peraturan, dan rasa keadilan masyarakat.
6. Pembangunan karakter yang akan melahirkan atau menciptakan manusia Indonesia yang unggul.
7. Reword kepada para pendekar hukum yang mengacu pada asas, kaidah, peraturan, dan rasa keadilan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ali, (2000), Pengantar Ilmu Hukum (materi kuliah Ilmu Hukum) Unhas Makassar,
Ali Septiansyah.“Ketidakadilan Hukum di Indonesia”. Diakses dalam (https://aliseptiansyah.wordpress.com/2017/05/07/ketidakadilan-hukum-di-indonesia/)
Asshiddiqie, Jimly. 2011. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Sinar Grafika
----------------------, 2012. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Dellyana,Shant.1988,Konsep Penegakan Hukum. Yogyakarta: Liberty
Jhon Locke, Second Tratise of Government,
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, diterbitkan LP3ES, Jakarta, 2001
-------- Sari kuliah Kebijakan Pembangunan Hukum pada Program Doktor Ilmu Hukum
Nonet philippe dan Philip Selznick, Law & Society in Transition: Toward Responsive Law, 1978. Alih bahasa oleh Rafael Edy Bosco, .Hukum Responsif, Pilihan di masa transisi
P. De Haan, dkk, Bestuursrecht in de Sociale Rechtstaat, Kluwer, Deventer
Soerjono Soekanto. 2004,Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegeakan Hukum Cetakan Kelima. Jakarta : Raja Grafindo Persada hal 42
Sudikno Mertokusumo, 2010 Bunga Rampai Ilmu Hukum, Liberty.
Leopold Pospisil , 1974, Anthropology of law: a comparative theory, HRAF Press
UUD 1945
Yadyn, Abdul Razak, Aswanto, Problematika Penegakan Hukum Di Indonesia Menuju Hukum yang Responsif Berlandaskan Nilai-Nilai Pancasila
Sabian Utsman, Menuju Penegakan Hukum Responsif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008.
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perilaku, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2009.
[1] Makalah dipersentasikan pada seminar MSI di Hotel Kendari 7-10-2010
[2] Lektor Kepala IV/b di FKIP Universitas Halu Oleo Kendari.