ASPEK-ASPEK ETNOPEDAGOGIK DALAM BUDAYA POKADULU PADA ETNIK MUNA - LINGKAR STUDI SEJARAH
News Update
Loading...

Selasa, 15 Mei 2018

ASPEK-ASPEK ETNOPEDAGOGIK DALAM BUDAYA POKADULU PADA ETNIK MUNA





ASPEK-ASPEK ETNOPEDAGOGIK DALAM BUDAYA POKADULU PADA ETNIK MUNA 

Oleh: Anwar 

Abstrak 

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis: (1) eksistensi budaya pokadulu pada Etnik Muna, (2) Tujuan budaya pokadulu, (3) aspek-aspek Etnopedagogik dalam budaya pokadulu, dan (4) prinsip-prinsi Etnopedagogikdalam budaya pokadulu. Metode penelitian dilaksanakan melalui pendekatan naturalistik. Subjek penelitian adalah tokoh masyarakat Etnik Muna dan anggota masyarakat setempat. Pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan, wawancara, dan diskusi terfokus. Analisis data dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan model analisis domain, dan taksonomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Eksistensi budaya pokadulu pada Etnik Muna dewasa ini, selain dilakukan dengan sukarela, kegiatan ini juga dilakukan dalam pekerjaan yang mendapatkan upah. Kegiatan pokadulu masih tetap dipertahankan, baik di pedesaan maupun di perkotaan, termasuk di wilayah perantauan dengan membentuk Paguyuban Etnik Muna. Mereka mengadakan barang dalam jumlah besar yang sumber dananya diambil dari anggota secara sukarela dan digunakan secara bergiliran bagi anggota paguyuban yang akan menyelenggarakan hajatan tanpa menarik iuran. Etnik Muna menjadikan budaya pokadulu tidak hanya dalam kegiatan saling membantu, tetapi juga dijadikan sebagai motivasi dalam berkarya dan berinovasi. 

(2) Tujuan budaya pokadulu ada dua: Tujuan Sosial, dengan menghargai perbedaan individu, mengembangkan keterampilan sosial, yaitu mengajarkan kepada individu keterampilan bekerja sama, Tujuan Akademik, yaitu: keberhasilan kelompok tergantung usaha setiap anggota, dalam menyelesaikan tugas yang diberikan kepada kelompoknya. Keberhasilan suatu kelompok juga terletak pada kesediaan anggota untuk saling mendengarkan dan mengutarakan pendapatnya, sehingga nampak penilaian pada ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. (3) Aspek-aspek Etnopedagogik dalam budaya pokadulu, merupakan suatu rangkaian kegiatan belajar yang mengadopsi nilai-nilai kearifan lokal sebagai dasar dalam menentukan langkah-langkah pembelajaran, terdiri atas beberapa aspek, yaitu: poangkatao, tubho, fekiri lalo, dan kafolaenga.(4) Prinsip-prinsip budaya pokadulu, dapat diadopsi dalam pembelajaran yakni: namu-namu (perencanaan) yang dipimpin oleh tokoh masyarakat, fetapa (konfirmasi), kegiatan diawali dengan diskusi diantara beberapa orang dalam masyarakat. Poangka (kesepakatan), dalam pelaksanaan kegiatan disepakati pekerjaan seluruh anggota untuk dilaksanakan sepenuhnya dengan adil dan tepat waktu. Pokaowa (saling membantu), pekerjaan dilakukan saling tukar tenaga atau selalu bersama-sama. 



Kata kunci: etnopedagogik, kearifan lokal, pokadulu, Etnik Muna 



1. Pendahuluan 

Pendidikan dan kebudayaan adalah dua komponen penting yang dapat dijadikan sebagai modal dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing tinggi. Kebudayaan dapat menciptakan model pendidikan yang menjadi dasar dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia. Hal tersebut sesuai dengan Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa sistem “pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yang sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni”. 

Menurut Tufekčić (2014) Etnopedagogi dimulai pada bagian kedua abad ke-20 sebagai usaha untuk mempelajari pedagogi rakyat secara ilmiah dan menerapkan hasilnya untuk sistem pendidikan kontemporer. Istilah ethnopedagogy pertama kali diungkapkan oleh GN Volkov tahun 1999, yaitu ilmu yang mempelajari asuhan orang, pandangan pedagogis asli, dan praktik pendidikan sehari-hari di dalam keluarga dan masyarakat. 

Menurut Tylor, dalam Ki-Supriyoko (2003) tidak ada proses pendidikan tanpa kebudayaan dan tanpa adanya masyarakat, sebaliknya tidak ada kebudayaan tanpa adanya proses pendidikan. Berdasarkan pengertian tersebut, maka pendidikan dengan kebudayaan terdapat tata hubungan yang saling mempengaruhi atau pendidikan merupakan variabel yang mendorong terjadinya perubahan kebudayaan di dalam tata hubungan asimetris di mana suatu variabel mempengaruhi variabel yang lainnya. 

Bangsa Indonesia yang beragam etnik dan beragam budaya selalu mengutamakan kebersamaan, kesantunan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Salah satu diantaranya adalah budaya gotong royong yang kental dengan kebiasaan masyarakat Indonesia sehari-hari baik di desa maupun perkotaan. Seluruh etnik memiliki tradisi kerjasama dan gotong royong dalam mengerjakan sesuatu demi kepentingan bersama. 

Masyarakat Mandailing di Sumatera memiliki tradisi marsialapari dalam bergotong royong mengerjakan sawah. Gugur gunung dilakukan masyarakat Gunung Kidul Yogyakarta tanpa mengharapkan imbalan, subak dilaksanakan Masyarakat Bali dalam proses pengerjaan sawah (Harahap, 2011). Etnis Tolaki mengenal medulu sebagai suatu kebersamaan yang bersifat kekeluargaan, juga dilaksanakan dalam berbagai bidang kegiatan, seperti berladang, dan membangun rumah (Anwar, 2011; Sau-Sau, 2016), pokadulu dilakukan Etnik Muna dalam menyelesaikan pekerjaan pada kehidupan sehari–hari, terutama kegiatan yang menyangkut kepentingan umum. Etnik Muna telah membuktikan betapa manfaat dari pokadulu, sehingga mampu membentuk karakter kebersamaan yang kuat dalam kehidupan sehari-hari. 

Keberagaman budaya tersebut menjadi penting untuk dikaji dalam kaitan dengan aspek-aspek Etnopedagogik mengingat pada kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama dalam pokadulu merupakan suatu hal menyenangkan bagi anak, sehingga pokadulu dipandang dari beberapa aspek mengandung muatan Etnopedagogikyang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran di sekolah sebagai salah satu alternatif pemecahan masalah dalam pembelajaran sekaligus memperkenalkan kepada anak akan nilai-nilai kearifan lokal daerah setempat (Rahcmand, 2016). Sejalan dengan itu Keller (2009) menyatakan bahwa sebagian besar konservasionis yang bekerja di Madagaskar menyadari bahwa jika tujuan konservasi harus dicapai, maka harus bekerja sama dengan, orang-orang lokal, dan mempertimbangkan budaya lokal. 

Perlunya pengkajian budaya dan mengaplikasikan unsur-unsur budaya tertentu dalam pembelajaran di sekolah, karena praktek budaya pada dasarnya merupakan proses pembelajaran, sehingga banyak unsur budaya yang merupakan proses pembelajaran yang sarat dengan nilai yang dibutuhkan dalam rangka pewarisan dan pengembangan karakter generasi muda. 



2. Kajian Pustaka 

2.1 Kearifan Lokal 

Setiap etnik memiliki kearifan dalam mempertahankan dan mengembangkan kehidupannya. Kearifan lokal merupakan hal yang multifungsi, karena terkait dengan semua aspek kehidupan manusia. Secara umum kearifan lokal merupakan gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya (Sibarani, 2012). 

Sartini (2006) menyatakan bahwa kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Gobyah dalam Sartini, (2006) menyebutkan meskipun bernilai lokal, tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. Fungsi kearifan lokal yakni: (1) untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam; (2) untuk pengembangan sumber daya manusia; (3) untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan; (4) sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan; (5) bermakna sosial misalnya upacara integrasi komunal/kerabat dan upacara daur pertanian; (6) bermakna etika dan moral; (7) bermakna politik, misalnya upacara nangluk mrana pada masyarakat Bali dan kekuasaan patron client. Dengan demikian, kearifan lokal dapat dipahami sebagai gagasan dan pengetahuan setempat yang bersifat bijaksana, bernilai baik dan budi luhur yang dimilki, dipedomani, dan dilaksanakan oleh anggota masyarakatnya secara turun-temurun. 

Ada beberapa ciri kearifan lokal, yaitu: (1) berdasarkan pengalaman, (2) teruji setelah digunakan berabad-abad, (3) dapat diadaptasi, (4) padu padan dalam praktek keseharian masyarakat, (5) lazim dilakukan oleh individu atau masyarakat secara keseluruhan, (6) bersifat dinamis dan terus berubah, (7) terkait dengan sistem kepercayaan (Alwasilah, 2008). Pokadulu menurut Aderlaepe (2016) merupakan suatu bentuk kearifan lokal Masyarakat Muna. Budaya ini menunjukkan suatu bentuk sikap kerja sama dikalangan Masyarakat Muna, yang relevan diaplikasikan dalam pembelajaran di sekolah. Meskipun budaya pokadulu ini lahir dalam masa bercocok tanam yang dilakukan secara bepindah-pindah (Malim, 1978), tetapi maknanya dalam bentuk kerja sama dapat dipertahankan dalam era sekarang ini, karena memiliki unsur-unsur Etnopedagogikyang relevan diterapkan dalam pembelajaran di sekolah. 







2.2 Etnopedagogik dalam Budaya 

Pendidikan berbasis budaya lokal tidah hanya memajukan bidang-bidang unggul dalam masyarakat berdasarkan budayanya, tetapi juga harus mengembangkan, memperbaiki, dan mengubah tata perilaku atau tata pikir masyarakat agar bisa mendalami berbagai ilmu pengetahuan dan membangun kehidupan bersama dengan masyarakat di luar dirinya sambil tetap melestarikan budayanya (Ernest, 1992). Dalam konteks yang sama, Daud, et all, (2015) menyatakan adanya jenis praktik budaya pasar dan bahaya kesalahpahaman budaya di sekolah. Dengan demikian perlunya pengembangan etnopedagogik dalam praktek pendidikan modern, sehingga dapat tercipta suasana saling memahami antar etnis. 

Menurut Tufekčić (2016) bahwa usaha mendasar etnopedagogis adalah untuk mencapai keharmonisan antara individu, keadaan sosial dan lingkungan alam. Harmonisasi hubungan di masa kanak-kanak menyiratkan pengembangan dan pelestarian aktivitas alami anak tanpa dikendalikan sepenuhnya oleh orang dewasa. 

Menurut Arsaliev (2017) formalisasi proses etnopedagogik yang direalisasikan dalam bentuk teknologi memungkinkan pengungkapan secara rasional, obyektif, dan berharga di bidang sistem pendidikan etnik. Hal ini memungkinkan membuat pengalaman pendidikan menjadi milik sejumlah besar guru. Semua itu memungkinkan untuk bergerak maju dalam penyelesaian masalah pembentukan orang yang mampu berfungsi dengan baik dalam lingkungan etnik yang tidak seragam, memiliki kompetensi etnobudaya tingkat tinggi, dan mempromosikan pengembangan teori ilmu pengetahuan etnopedagogis. 

Menurut Fahrutdinova (2016) kehadiran etnopedagogis untuk mengatasi konflik etnis yang telah berkembang di lingkungan sosio-kultural baru, studi tentang proses interaksi dalam lingkungan pendidikan dan pendidikan multi-etnis, identitas nsional yang muncul selama berabad-abad, sehingga perlu mengaktualisasikan pendidikan etnopedagogis dalam situasi kontemporer. Dalam konteks ini perlu pelatihan terhadap guru dalam proses pengembangan etnopedagogis guru masa depan di sekolah modern. 

Menurut Fahrutdinova ( 2016) ruang multikultural dalam kondisi sosial dan budaya baru dicapai dengan mempelajari pedagogi orang-orang Rusia dalam perjalanan etnopedagogi. Kursus "Etnopedagogi " dimaksudkan untuk mempromosikan pendidikan spiritual dan moral generasi muda, peningkatan kompetensi guru, serta identifikasi peluang penggunaan sistem pengajaran, sarana, metode dan bentuk pedagogi rakyat modern. Ajaran etnopedagogi melibatkan pencapaian sejumlah tujuan: mempersiapkan guru masa depan untuk bekerja memperkuat dan melestarikan tradisi pedagogis rakyat progresif; membentuk pemahaman tentang tujuan sosial etnopedagogi dalam masyarakat modern; mengembangkan kemampuan penggunaan etnopedagogi dalam pedagogi modern. Informasi yang terkandung dalam pelatihan ini meliputi: (a) Fungsi pendidikan (pembentukan karakter moral dan kemauan, pengembangan mental, menumbuhkan kecintaan akan keindahan); (b) metode pendidikan (persuasi, contoh, perintah, penjelasan, latihan, keinginan dan berkat, mantra, sumpah, permintaan, nasihat, petunjuk, persetujuan, teguran, cela, perintah, perjanjian, penyesalan, pertobatan, khotbah, wasiat, ancaman, hukuman); (c) sarana pendidikan (sajak, pepatah, teka-teki, dongeng, legenda, mitos, dll). 

Menurut Tufekčić (2014) Pelestarian dan pengembangan budaya spiritual tak terbayangkan tanpa praktik pedagogis yang memadai dan berkembang. Fokus dari setiap budaya pedagogis adalah asuhan anak yang sukses. Dengan memperhitungkan esensi asuhan, seseorang melihat aspek unik dari budaya pedagogis orang yang berbeda dan begitu juga manusia pada umumnya. Semua orang mencontohkan prestasi asli dan universal yang terkait dengan asuhan seseorang. Kekhususan budaya pedagogis terbukti dalam proses pengasuhan di mana orang mengumpulkan kekayaan spiritual dari generasi ke generasi dan dari mengubah, memperbaiki, mengembangkan, dan memperkaya praktik pedagogis. Setiap pengasuhan bertujuan untuk kesatuan integral sosial dan pribadi, yang menghasilkan rasa memiliki masyarakat dalam setiap orang dan memberi identitas sosial pada pekerjaan dan perilaku individu. 

Menurut Tufekčić (2014) pengetahuan pedagogis hubungan erat dengan filosofi kehidupan, moralitas, dan pengetahuan umum. Melalui pedagogi rakyat, seseorang dapat menyaksikan karya dan tindakan dimana pendidik adalah pengrajin, penyanyi, teller cerita, yaitu mereka yang memiliki kemampuan konkret dan praktis. Inti dari arahan adalah asuhan yang ditunjukkan oleh contoh yang baik. Sebagai sarana mengasuh, orang menggunakan gaya penciptaan verbal seperti: Peribahasa, teka-teki, lagu, dongeng, dan cerita. Komponen penting dari sebuah pepatah adalah pelajarannya karena peribahasa menyediakan tujuan, sarana, dan metode pengasuhan; Ini melibatkan dorongan dan hukuman, menyediakan isi pendidikan, pekerjaan, dan pendidikan moral. Melalui teka-teki, seseorang menemukan kombinasi pengaruh pada pemahaman anak tentang dunia dengan tujuan membangun pendidikan intelektual yang selaras dengan semua aspek pembentukan kepribadian lainnya. Peran lagu juga sangat besar. Tugas utama lagu ini adalah mengembangkan cinta, membangun estetika dan selera. 

Menurut Tufekčić (2014) bahwa dalam budaya tradisional Bosnia sehari-hari adalah tempat berlindung praktik etnopedagogi. Praktik ini lahir dari satu komunitas konkrit dan mencakup keseluruhan siklus hidup sejak lahir sampai mati. Dalam setiap situasi kehidupan, pendidikan dibuktikan dalam mempengaruhi terciptanya hubungan yang harmonis antara individu dan masyarakat. 

Menurut Yachina el all (2016) dalam pemilihan konten mencakup integrasi pengetahuan, kemampuan dan keterampilan dari bidang etnoaesthetics, teknologi dan pengetahuan ilmiah, yang mampu memberikan pokok bahasan pendidikan dengan kontinuitas pencapaian nilai etnik, manusia, nilai ilmiah dalam sistem sekolah. Penataan isi dilakukan dengan periodisasi umur sebagai faktor dalam pengembangan kepribadian yang harmonis tidak hanya di bidang teknologi, profesional, tapi juga emosional, spiritual, kehendak, dan estetika. 

Menurut Yachina el all (2016) untuk memberikan orientasi inovatif pemilihan konten integratif, pentingnya bahan yang dipilih dalam proses belajar, maka perlu mempelajari sistem alternatif dalam bentuk pedoman metodologi untuk pemilihan konten dan metode, konten teknologi pendidikan sebagai sarana didaktik untuk memperkaya intelektual, kualitas spiritual, pengembangan kreativitas teknis dan artistik. 

Pandangan dan kajian empiris tersebut menyiratkan bakna bahwa model pendidikan berbasis kearifan lokal tidak dimaksudkan mendidik masyarakat untuk sekedar mempelajari dan melestarikan budayanya sendiri dan tidak menghargai budaya lain. Sebaliknya, mendidik masyarakat untuk mendalami ilmu pengetahuan, keterampilan, dan nilai berdasarkan budayanya, menjunjung tinggi tata kehidupan bersama, yang menjadi dasar untuk meraih kehidupan demokratis (Kartadinata, 2014). Pendidikan melalui adaptasi kearifan lokal, termasuk reinterpretasi nilai-nilai yang terkandung dalam sejumlah peribahasa dengan kondisi kontemporer dapat menjadi instrumen untuk memecahkan masalah sosial, karena dalam banyak hal, masalah sosial juga berasal dari isu lokal. 



3. Hasil dan Pembahasan 

4.1 Eksisten Budaya Pokadulu pada Etnik Muna 

Etnik Muna mengenal tradisi pokadulu yang bermakna gotong royong. Kegiatan ini digunakan sebagai sarana untuk bersosialisasi dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam Kamus Muna-Indonesia pokadulu berasal dari kata kadulu yang berarti membantu dalam pekerjaan, sedangkan pokadulu berarti kerja sama dengan cara saling membalas bantuan ataupun jasa yang telah diterima (Berg, 2000). Dalam kegiatan kemasyarakatan khususnya dalam bidang pertanian, La Niampe (2013) menyatakan bahwa pokadulu ini dimaksudkan, agar dalam setiap pekerjaan yang dilakukan tidak dirasa berat. 

Pokadulu dilaksanakan dalam kegiatan tolong-menolong antara sekelompok orang untuk mengerjakan pekerjaan seseorang, misalnya kegiatan perladangan berpindah-pindah, seperti: dewei (membabat rumput), dekatondo (memagar), detisa (menanam), detunggu (menjaga kebun), sampai dengan detongka (memanen). Dalam bidang sosial: kegiatan membangun rumah, dan kegiatan membangun bantea (tenda) untuk pesta perkawinan, pembuatan jalan desa, tanggul desa, jembatan, dan secara spontan memberikan pertolongan kepada keluarga yang mengalami kedukaan atau musibah, dan dianggap sebagai suatu kewajiban moral (Rahcmand, 2016). 

Pokadulu selain dilakukan dengan sukarela, juga dilakukan dalam pekerjaan yang mendapatkan upah (deala gadhi). Misalnya sekelompok warga yang bekerja membabat rumput/membersihkan suatu ladang. Masing-masing anggota kelompok telah mendapat bagian atau area yang akan dibersihkan, namun untuk memudahkan dan mempercepat pekerjaan mereka, maka secara pokadulu akan menyelesaikan satu persatu area kerja setiap anggota kelompok tersebut. selanjutnya semua anggota kelompok berkewajiban membalas bantuan yang telah diterima. 

Kegiatan pokadulu masih tetap dipertahankan oleh Etnik Muna di manapun mereka berada, baik di wilayah pedesaan maupun di wilayah perkotaan, termasuk di wilayah perantauan mereka. Salah satu kegiatan yang tetap dipertahankan pada Etnik Muna di Perantauan adalah membentuk Paguyuban yang di dalamnya melibatkan praktek pokadulu, yakni mengadakan barang dalam jumlah besar yang sumber dananya diambil dari anggota paguyuban secara sukarela dan digunakan secara bergiliran bagi anggota paguyuban yang akan menyelenggarakan hajatan tanpa menarik iuran karena hal tersebut adalah milik bersama dan digunakan untuk meringankan beban dari anggota paguyuban yang menyelengarakan hajatan. 

Etnik Muna menjadikan budaya pokadulu tidak hanya dalam kegiatan saling membantu, tetapi pokadulu juga dijadikan sebagai motivasi dalam berkarya dan berinovasi. Dalam bidang politik, pokadulu dijadikan sebagai slogan untuk menarik simpati rakyat dalam memilih seseorang calon pejabat atau anggota parlemen. Pokadulu, juga mengandung nilai-nilai pengembangan karakter, misalnya: jujur, toleransi, kreatif, demokratis, menghargai prestasi, bersahabat, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab (Rahcmand, 2016). 

Secara aplikatif model pokadulu dapat dilaksanakan dalam proses pembelajaran di sekolah, terutama dalam kegiatan praktek keterampilan dan kegiatan pembelajaran yang membutuhkan aktivitas bersama-sama. Konsep pokadulu dekat dengan proses pembelajaran Seni Budaya dan Keterampilan, serta Ilmu Pengetahuan Sosial. Melalui penerapan model pokadulu diharapkan aktivitas dan hasil belajar anak akan lebih meningkat, karena dalam kegiatan pokadulu anak sekaligus dapat mengembangkan tiga aspek pembelajaran, yaitu: (1) aspek kognitif, meliputi: pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sitesis, dan evaluasi, (2) aspek afektif, meliputi: penerimaan, tanggapan atau reaksi, penilaian, pengelolaan, dan penghayatan; serta (3) aspek psikomotorik, meliputi: peniruan, formulasi, mengalami, dan artikulasi. Hal lain yang juga penting terkait kegiatan pokadulu, anak akan lebih mengenal dan mencintai budaya daerahnya sendiri. Karena itu, dalam era globalisasi saat ini nilai-nilai kearifan lokal sudah mulai bergeser dan implementasinya berganti dengan budaya asing yang belum tentu cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia. 

Menurut Soltaninejad (2017) globalisasi adalah fenomena multi dimensi karena mengarah pada mobilitas tinggi di bidang sosial, politik, ekonomi dan nilai, serta terjadi pengurangan jarak antara waktu dan tempat, sehingga menghadirkan interpretasi baru tentang politik, ekonomi, budaya, pemerintahan, otoritas dan keamanan. Menurut Ayatollah Javadi-Amoli, globalisasi diasumsikan berdasarkan basis antropologis yang menjadi kepentingan bersama manusia dengan mengabaikan kondisi iklim dan sejarah, karena pengetahuan tentang realitas bersama itu disediakan. 



4.2 Tujuan Kegiatan Pokadulu 

4.2.1 Tujuan Sosial 

Mencermati spek-aspek Etnopedagogikbudaya pokadulu, maka terdapat dua hal penting dalam tujuan sosial, yaitu: (1) menerima dan menghargai perbedaan individu, yaitu individu diberikan kesempatan untuk bekerja sama tanpa membedakan kemampuan dan keahlian, sehingga tercipta ketergantungan yang positif satu sama lain dan belajar untuk menghargai pendapat orang lain; (2) mengembangkan keterampilan sosial, yaitu mengajarkan kepada individu keterampilan bekerja sama, sehingga bermanfaat dalam menumbuhkan semangat kerja sama, berpikir kritis dan membantu teman yang kesulitan dalam kegiatan bekerja sambil belajar. 

Menurut Zhang (2016: 580) gaya hidup pedesaan telah memberi jalan bagi gaya hidup yang lebih urban, banyak pengetahuan tradisional hilang. Pengetahuan tradisional memainkan peran penting dalam pembangunan ekonomi dan masyarakat yang berkelanjutan, sehingga perlu mengumpulkan dan mendokumentasikan pengetahuan tradisional tentang pentingnya pengetahuan tradisional, karena mengandung nilai-nilai Etnopedagogikdan motivasi dalam rangka pengembangan generasi muda. 



4.2.2 Tujuan Akademik 

Keberhasilan kelompok sangat tergantung pada usaha setiap anggotanya. Untuk menciptakan kelompok kerja yang efektif, tokoh parika perlu menyusun tugas sedemikian rupa, sehingga setiap anggota kelompok dapat menyelesaikan tugasnya sendiri, karena setiap anggota kelompok memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan tugas yang diberikan kepada kelompoknya. 

Hal lainnya yang juga dibutuhkan adalah kejujuran dari masing-masing anggota kelompok dalam bekerjasama, keaktifan dalam bekerja agar tugas yang diberikan dapat diselesaikan dengan tepat waktu, maka setiap anggota kelompok harus dapat berinteraksi satu sama lain dalam mengkomunikasikan hasil kegiatan. Keberhasilan suatu kelompok juga terletak pada kesediaan para anggotanya untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapatnya. (Rahcmand, 2016). Penilaian dalam kegiatan pokadulu adalah pengembangan ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. 



4.2.2.1 Ranah Kognitif 

Tujuan penilaian kognitif berorientasi pada kemampuan berfikir yang mencakup kemampuan intelektual yang lebih sederhana, kemampuan memecahkan masalah yang menuntut individu untuk menggabungkan dan menghubungkan beberapa ide, gagasan, metode ataupun prosedur yang dikerjakan untuk memecahkan masalah tersebut. Dalam kegiatan pokadulu, penilaian kognitif dilakukan melalui unjuk kerja atau diskusi/wawancana. Seperti penelitian Abukhattala (2013) tentang pengalaman lintas pendidikan dari sepuluh mahasiswa Arab di dua universitas berbahasa Inggris di Montreal mengungkapkan perbedaan dalam sistem budaya, bahasa, dan sosial antara negara asal mahasiswa dan Canada, nampak peran pendidik di Canada dapat membantu mahasiswa menyadari budaya asal mereka, yang berbeda dan membantu mereka menyesuaikan diri dengan sistem pendidikan Canada serta belajar tentang budaya Canada. Hal ini menunjukkan pentingnya budaya setempat dalam pembelajaran. 



4.2.2.2 Ranah Afektif 

Kegiatan pokadulu, mencakup 9 nilai afektif: jujur, toleransi, kreatif, demokratis, menghargai prestasi, bersahabat, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. 



4.2.2.3 Ranah Psikomotor 

Penilaian aspek psikomotor dalam kegiatan pokadulu menekankan pada: (1) ketelitian, (2) keterampilan dalam berkarya, (3) keefektifan dan (4) kreativitas. Cara menilai hasil belajar psikomotor dijelaskan oleh Leighbody dalam Karim (2009), yaitu: mencakup: (1) kemampuan menggunakan alat dan sikap kerja, (2) kemampuan menganalisis suatu pekerjaan dan menyusun urutan-urutan pekerjaan, (3) kecepatan mengerjakan tugas, (4) kemampuan membaca gambar atau simbol (5) keserasian bentuk dengan yang diharapkan dan atau ukuran yang telah ditentukan. 

Menurut Genao (2016) para siswa menyatakan bahwa budaya yang dipelajari di rumah, memainkan peran besar dalam cara interaksi antara pemimpin sekolah, guru, staf, dan siswa, sehingga selama budaya dilestarikan di antara semua komponen, maka keragaman akan ditransefer ke dalam budaya sekolah dan pedagogi secara organik. 



4.3 Aspek-aspek Etnopedagogikdalam Budaya Pokadulu 

Aspek Etnopedagogikdalam budaya pokadulu adalah suatu rangkaian kegiatan belajar yang mengadopsi nilai-nilai kearifan lokal sebagai dasar dalam menentukan langkah-langkah pembelajaran. Terinspirasi dari kegiatan Etnik Muna yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan, kepedulian sosial yang tinggi dan tetap dilakukan hingga saat ini di tengah-tengah gempuran budaya asing yang masuk ke dalam kehidupan sosial mereka. Terdapat beberapa aspek Etnopedagogikdalam pokadulu, yaitu: poangkatao (kerja sama), tubho (acuan), fekiri lalo (keselarasan pikiran dan hati nurani), dan kafolaenga (penilaian). 



3.3.1 Poangkatao 

Maksud dari poangkatao adalah membiasakan individu untuk melakukan kerjasama dan memanfaatkan sumber belajar dari teman-teman kerjanya. Hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain melalui berbagai pengalaman. Melalui pengalaman ini seseorang dibiasakan untuk saling memberi dan menerima, saling menghormati, toleransi, saling menyayangi. Sifat ketergantungan yang positif nampak dapat dikembangkan dalam poangkatao. 



4.3.2 Tubho 

Tubho adalah acuan/patrol/penopang yang dapat dilakukan setelah melewati proses bekerja. Tubho dapat dirancang dengan melibatkan anak yang dalam aplikasinya dapat diamati atau ditiru anak. Tubho digolongkan menjadi dua bagian: (1) kehidupan nyata, misalnya perilaku yang baik dari orang tua, guru, atau orang lain; (2) simbolik, yang dipresentasikan secara lisan atau dalam bentuk benda aslinya, misalnya memperlihatkan pacul dalam kegiatan mengolah kebun. Tubho dapat ditiru oleh anak dalam hal ini orang tua bukan satu-satunya sumber belajar anak. 



4.3.3 Fekiri lalo 

Fekiri lalo, penyelarasan antara pikiran dan hati nurani, pikiran harus dikontrol oleh hati nurani, sehingga tercipta perilaku yang baik. Fekiri lalo, memungkinkan cara berpikir tentang apasaja yang telah dikerjakan/dipelajari dan untuk membantu individu menggambarkan makna personalnya sendiri. Dalam fekiri lalo, seseorang menelaah suatu kejadian, kegiatan, pengalaman, dan berpikir tentang apa yang dikerjakan, bagaimana merasakan, dan bagaimana menggunakan pengetahuan baru tersebut. Realisasi Fekiri lalo dapat diterapkan pada akhir pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar anak melakukan refleksi. Hal ini dapat berupa: (1) pernyataan langsung tentang pengetahuan, nilai, dan keterampilan yang diperoleh anak hari ini; (2) kesan dan saran anak tentang kegiatan yang baru dilakukan, dan (3) hasil karya anak. 



4.3.4 Kafolaenga 

Tahapan terakhir dalam proses kegiatan pokadulu adalah kafolaenga atau penilaian unjuk kerja. Kafolaenga dalam pembelajaran memiliki fungsi yang amat menentukan untuk mendapatkan informasi kualitas proses dan hasil pembelajaran. Minimal ada dua teknik kafolaenga yang dapat dilakukan yaitu: de fotinda, dan Pinde. Pertama, De fotinda adalah untuk melakukan pengamatan langsung mengenai tingkah laku individu dalam kegiatan bekerja. Dari kegiatan de fotinda dapat diperoleh gambaran pengetahuan, sikap dan keterampilan yang sedang dipelajari. Dalam kegiatan de fotinda, terdapat assesmen diri, dimulai dengan memeriksa hasil pekerjaan, menganalisis strategi yang dilakukan orang lain, dan melihat cara yang paling sesuai dengan pemikirannya. Kedua, Pinde, adalah penilaian untuk mendapatkan informasi dan petunjuk tentang pekerjaan yang telah dan akan dilakukan selanjutnya. 

Menurut Saragih (2017) bahwa dalam proses belajar, informasi baru harus dikaitkan dengan pengalaman masa lalu melalui logika. Kehadiran konteks budaya lokal dalam pembelajaran harus masuk dalam perencanaan guru, sehingga dapat mendukung proses belajar yang bermakna sesuai yang diharapkan. 



4.4 Prinsip-Prinsip Kegiatan Pokadulu 

Beberapa prinsip pokadulu yang dapat diadopsi dalam kegiatan pembelajaran yakni: namu-namu, fetapa, poangka, dan pokaowa. 



4.4.1 Namu-namu (perencanaan) 

Proses namu-namu dipimpin oleh Parika (Tokoh Masyarakat/Dukun di bidang pertanian) bersama dengan anggota masyarakat merencanakan kegiatan bersama untuk kepentingan anggota kelompok di bidang pertanian. Tahapan namu-namu telah diputuskan misalnya: lahan pertanian milik siapa yang akan dikerjakan bersama pada tahap awal, kemudian menyusul anggota lainnya, sampai semua naggota kelompok memperoleh kesempatan untuk dikerjakan lahan pertaniannya. Dalam konteks ini, semua anggota masyarakat berhak mengajukan saran dan pendapat secara terbuka dan santun, akhirnya diputuskan bersama yang dipimpin oleh parika. 



4.4.2 Fetapa (konfirmasi) 

Budaya Pokadulu diawali dengan diskusi diantara beberapa orang dalam suatu kelompok masyarakat, kondisi seperti ini terjadi fetapa. Diskusi diawali dengan salah seorang atau lebih anggota masyarakat mengunjungi anggota masyarakat lainnya untuk menyampaikan pendapat atau keinginan mengenai tugas yang akan diselesaikan. Keinginan tersebut untuk menyelesaikan terlebih dahulu tugas salah seorang anggota atau sesuai kesepakatan bersama, kemudian menyelesaikan tugas anggota lainnya secara bersama-sama. 

Kegiatan pokadulu diartikan sebagai suatu sikap atau perilaku bersama dalam bekerja membantu di antara sesama dengan struktur kerja sama yang teratur dalam kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih, keberhasilan kerja sangat dipengaruhi oleh keterlibatan setiap anggota kelompok. 



4.4.3 Poangka (kesepakatan) 

Pelaksanaan kegiatan dilakukan setelah adanya poangka dari seluruh anggota masyarakat yang akan melakukan suatu kegiatan. Pelaksanaan kegiatan disepakati bahwa tugas atau pekerjaan seluruh anggota harus terlaksana sepenuhnya dengan adil dan tepat waktu. Agar kegiatan tersebut menjadi lebih terarah, maka disepakati pula salah seorang anggota yang dituakan atau dianggap memiliki kemampuan lebih dari anggota lainnya untuk memimpin dan mengontrol seluruh kegiatan yang akan dilaksanakan. 

Dalam pengorganisasian kegiatan pokadulu, seorang yang dituakan dipilih menjadi pemimpin zaman dahulu dipinpin oleh parika dan lainnya menjadi anggota. Misalnya anak yang menjadi leader memastikan anggota tim bertanggung jawab tidak hanya untuk belajar tentang yang diajarkan oleh orang tua, tetapi juga untuk membantu teman dalam satu kelompoknya, sehingga dapat meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikapnya. 

Kegiatan pokadulu bertujuan untuk membantu anak dalam belajar, menghindari sikap persaingan dan rasa individualitas. Kegiatan pokadulu secara nyata dapat pengembangan sikap sosial dan belajar anak dari teman sekelompoknya dalam berbagai sikap positif. Dengan demikian kegiatan pokadulu dapat meningkatkan sikap sosial, keterampilan dan kemampuan kognitif. 



4.4.4 Pokaowa 

Pokaowa diartikan saling membantu, saling memberi, saling tukar tenaga atau selalu bersama-sama. Tugas/kegiatan seluruh anggota kelompok harus diselesaikan secara bersama-sama secara adil, dan parika, selaku ketua kelompok memastikan tugas dari seluruh anggota kelompok terselesaikan secara merata (Rahcmand, 2016). Setelah seluruh tugas/kegiatan terselesaikan sebelum meninggalkan lokasi kegiatan, maka masing-masing anggota meninjau kembali untuk memastikan bahwa seluruh tugas/kegiatan tidak ada yang terlewati atau dilupakan, untuk itu dilakukan secara menyilang. Dalam hal ini masing-masing anggota kelompok memeriksa tugas/kegiatan anggota kelompok lainnya kemudian hasilnya disampaikan dihadapan seluruh anggota kelompok untuk ditanggapi (Rahcmand, 2016). Dalam konteks ini terdapat tahapan refleksi, yaitu semua pihak menilai kekuatan dan kelemahan hasil kerja mereka masing-masing, sehingga dalam proses bekerja dilakukan secara cermat dan hati-hati, akhirnya semua pekerjaan dapat dilaksanakan dengan tuntas. 

Mencermati pola hidup masyarakat setempat dalam berinteraksi sosial maka prinsip dasar dalam kegiatan pokadulu ada delapan, yaitu: (1) Anak haruslah beranggapan bahwa mereka adalah suatu tim layaknya dalam kegiatan permainan; (2) anak memiliki tanggung jawab bersama atas segala sesuatu di dalam kelompoknya, seperti milik mereka sendiri; (3) anak berkewajiban untuk membalas bantuan yang telah diterima sebagai konsekuensi dalam pokadulu; (4) anak harus melihat bahwa semua anggota dalam kelompoknya memiliki tujuan yang sama; (5) anak yang mendapat tugas sebagai leader harus membagi tugas dan tanggung jawab yang sama diantara anggota kelompoknya dan memastikan seluruh kebutuhan anggota kelompok telah terpenuhi; (6) setiap anak akan dilakukan evaluasi; (7) anak akan diminta mempertanggung-jawabkan secara individual pekerjaan yang ditanganinya; dan (8) selama proses pekerjaan berlangsung harus poguru noremeane lalo (belajar dengan hati yang tentram) (Rahcmand, 2016). Dalam kontek ini terjadi pembelajaran terpadu dengan mengintegrasikan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal, lingkungan keluarga, dan pendidikan formal di sekolah. Untuk norma atau nilai dikembangkan secara eksplisit dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari (Hermino, 2017). Menurut tinjauan Shih (2017) dari perspektif praktik sosial, pembelajaran adalah praktik yang dibentuk secara sosial dan dijiwai dengan makna sosial budaya, dibentuk oleh nilai yang dimiliki bersama dalam komunitas peserta didik. 

Sejalan dengan itu hasil penelitian Al-Rababah (2017) mengungkapkan bahwa sikap dosen dalam pembelajaran pada umumnya positif dalam tiga tema, yaitu: (1) meningkatkan interaksi dan pembelajaran kolaboratif, (2) mendorong otonomi belajar dan kemandirian, dan (3) pembelajaran umpan balik dari teman sebaya. 



4. Kesimpulan 

5.1 Eksistensi budaya pokadulu pada Etnik Muna dewasa ini, selain dilakukan dengan sukarela, juga dilakukan dalam pekerjaan yang mendapatkan upah. Kegiatan pokadulu masih tetap dipertahankan, baik di pedesaan maupun di perkotaan, termasuk di wilayah perantauan, mereka membentuk Paguyuban Etnik Muna yang mengadakan benda/barang dalam jumlah besar sumber dananya dari anggota dan digunakan secara bergiliran bagi anggota yang akan menyelenggarakan hajatan tanpa menarik iuran. Budaya pokadulu tidak hanya dalam kegiatan saling membantu, tetapi juga dijadikan sebagai motivasi dalam berkarya dan berinovasi. 

5.2 Tujuan budaya pokadulu pada Etnik Muna, ada dua: [1] Tujuan Sosial, yaitu: menghargai perbedaan individu, mengembangkan keterampilan sosial, mengajarkan kepada individu keterampilan bekerja sama, [2] Tujuan Akademik, yaitu: keberhasilan kelompok tergantung usaha setiap anggotanya. Keberhasilan suatu kelompok juga terletak pada kesediaan anggota untuk saling mendengarkan dan menyampaikan pendapatnya, sehingga nampak penilaian pada ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. 

5.3 Aspek-aspek etnopedagogik dalam budaya pokadulu, merupakan suatu rangkaian kegiatan belajar yang merupakan nilai-nilai kearifan lokal sebagai dasar dalam melakukan langkah-langkah pembelajaran. Terdapat empat aspek pedagogik, yaitu: Poangkatao (kerja sama). tubho (acuan), fekiri lalo (keselarasan pikiran dengan hati nurani), dan kafolaenga (penilaian). 

5.4 Prinsip-prinsip budaya pokadulu, dapat diadopsi dalam pembelajaran di sekolah yakni: namu-namu (perencanaan) yang dipimpin oleh tokoh masyarakat, Fetapa (konfirmasi), kegiatan diawali dengan diskusi diantara beberapa orang dalam masyarakat. Poangka (kesepakatan), dalam pelaksanaan kegiatan disepakati pekerjaan seluruh anggota untuk dilaksanakan sepenuhnya dengan adil dan tepat waktu. Pokaowa [saling membantu], pekerjaan dilakukan saling tukar tenaga atau selalu bersama-sama. 





DAFTAR PUSTAKA 



Abukhattala , Ibrahim . 2013. “What Arab Students Say about Their Linguistic and Educational Experiences in Canadian Universities”. In International Education Studies, Volume: 6, 2013. (P.80-91). 

Aderlaepe. 2016. Sejarah dan Kebudayaan Muna. Raha: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Muna. 

Al-Rababah, Ibraheem Hasan; and Rababah, Luqman. 2017. “Investigating Arabic to Speakers of Other Languages (ASOL) Lecturers’ Attitudes towards Utilizing Flipped Classroom Instruction (FCI): A Qualitative Study at Jordanian Public Universities”. In International Education Studies, 2017, Vol.10 (7). (P. 94-102). 

Alwasilah, A. C. 2008. Tujuh Ayat Etnopedagogi. Artikel dalam Pikiran Rakyat Bandung, 23 Januari 2008. 

Anwar. 2011. Fungsi Medulu dalam Kehidupan Sosial Etnis Tolaki di Sulawesi Tenggara. Makalah disajikan pada Prakongres Kebudayaan di Makassar, tanggal 16-18 Desember 2011. 
Arsaliev, Shavadi . 2017. Ethnopedagogical Technologies: Best Approaches and Practices. Recent Patents on Computer Science. Volume 10, 4 Issues, 2017. (Page 173-184). DOI: 10.2174/2213275908666151008212858. Diakses, 25 September 2017. 

Berg, Den Van Rene dan Sidu, La Ode. 2000 Kamus Muna-Indonesia. Makssar; Intisari. 

Daud, Yaakob; Raman, Arumugam; Don, Yahya; Sofian O. F., Mohd; Hussin, Fauzi. 2015. “The Type of Culture at a High Performance Schools and Low Performance School in the State of Kedah”. In International Education Studies, 2015, Vol.8 (2). (P.21-30). 

Ernest, J. 1992. From Mysteries to Histories: Cultural Pedagogy in Frances E. W. Harper's Iola Leroy. In American Literature. Vol. 64, No. 3 (Sep., 1992), pp. 497-518 

Fahrutdinova, Guzaliya Zh. 2016. Ethno-Pedagogical Factor of Polycultural Training. pp. 1185-1193 | DOI: 10.12973/ijese.2016.388a | Article Number: ijese.2016.112. http://www.ijese.net/makale/245. Diakses, 25 September 2017. 

Genao, Soribel. 2016. Culturally responsive pedagogy: Reflections on mentoring by educational leadership candidates. In Issues in Educational Research, 26(3), 2016 431-445. 

Harahap, Batara Fandi, 2011. Modal sosial Gotong Royong. www. Kompasiana/ batarahrp/ modal-soaial-gotong-royong-5500bb73a333 113072511cb9 (Diunduh Tanggal 28 Januari 2016) 

Hermino, Agustinus. 2017. “Peace Education and Child Protection in Educational Settings for Elementary School in the West Papua of Indonesia”. In Asian Social Science; Vol. 13, No. 8; 2017. (P. 20-31) 

Karim, Nurman. 2009. Pengembangan Perangkat Psikomotor. https://nurmanspd.wordpress.com./2009/09/17/pengembangan-perangkat-penilaian-psikomotor (diunduh tanggal 25 maret 2016). 

Kartadinata, S. 2014. Politik Jati Diri. Bandung: UPI Press. 

Keller, E. 2009. “Culture; taboo; Masoala; population growth; concepts of life; Madagascar”. In International Education Studies, 2009, Vol.4 (2). P. 82 

Ki-Supriyoko. 2003. Sistem Pendidikan Nasional dan Peran Budaya Dalam Pembangunan Berkelanjutan. Makalah Disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional Viii Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan. Diselenggarakan Oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI Denpasar, 14-18 Juli 2003. 

La Niampe. 2013. Upacara Kaago-Ago dalam Tradisi Perladangan pada Etnik Muna; Kajian Bentuk, Fungsi dan Makna http://ojs.unud.ac.id/index. php/kajianbali/article/download/16783/11056 (Diunduh Tanggal 15 Januari 2016). 

Malim, La Ode, dkk. 1978. Aneka Budaya Daerah Sulawesi Tenggara. Kendari: Proyek Penggalian Nilai-nilai Budaya Sulawesi Tenggara. 

Rahcmand, Wasree Galuatry. 2016. Kegiatan pokadulu dalam Mata Pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan Kelas IV SD Negeri 08 Tongkuno Kabupaten Muna. Kendari: Tesis Magister pada Program Pascasarjana Universitas Halu Oleo. 

Saragih, S; Napitupulu, E. E; Fauzi, A. 2017. “Developing Learning Model Based on Local Culture and Instrument for Mathematical Higher Order Thinking Ability”, ini International Education Studies, Vol 10, No 6 2017. (hal: 570-578). 

Sartini. 2006. Menggali Kearifan Lokal Nusantara sebuah Kajian Filsafat. http;//filsafat.ugm.ac.id, (Diunduh tanggal 09 Januari 2016). 

Sau Sau, La Ode Subhan Malik. 2016. Sejarah dan Kebudayaan Muna. Error! Hyperlink reference not valid.. Akses, 3 September 2017. 

Shih, Patti; Velan, Gary M.; and Shulruf, Boaz. 2017. Shared values and socio-cultural norms: E-learning technologies from a social practice perspective. IN Issues in Educational Research, 2017, Vol 27(3), (P.550-566). 

Sibarani, Robert. 2012. Kearifan Lokal; Hakikat Peran dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta; Asosiasi Tradisi Lisan. 

Soltaninejad, Najme; Keshtiaray, Narges; Vaezi, Seyed Hossein. 2017. “Explanation of Educational and Cultural Dimensions of Globalization in the Views of Ayatollah Javadi-Amoli”. In International Education Studies. Vol 10, No 1 2017 (hal: 32-45). 

Spradley, J.P. 1980. Participant Observation. New York: Holt, Reneihart and Winston. 

Tufekčić, Adnan. 2014. The Ethnopedagogical Mosaic of Bosnia and Herzegovina. Spirit of Bosnia: An International, Interdiciplinary, Bilingual, Online Journal. http://www.spiritofbosnia.org/volume-9-no-3-2014july/the-ethnopedagogical-mosaic-of-bosnia-and-herzegovina/. Diakses, 26 September 2017. 


Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Sekretariat Negara. 

Winarno, Agung. 2009. “Pengembangan Model Pembelajaran Internalisasi Nilai-Nilai Kewirausahaan pada Sekolah Menengah Kejuruan di Kota Malang”. Jurnal Ekonomi Bisnis. No. 2 Juli 2009 (hal. 53-72). 

Yachina, Nadezhda P., Petrova, Tatyana N., Kharitonov, Mikhail G., Nikitin, Gennady A. & Zhumataeva. 2016. The Method of the Content Selection for Formation of Technological Culture among Students Based on Ethnological Values. In Mathematics Education, 2016, 11(1), 211-219. 

Zhang, Shun-cang; Lin, Shan; Shen, Ao; Chen, Hui; Wang, Fei; dan Huai, Hu-yin. 2016. “Traditional knowledge on “Luchai” [Phragmites australis (Cav.) Trin. ex Steud. and Arundo donax L.] and their dynamics through urbanization in Yangzhou area, East China”. In Indian Journal of Traditional Knowledge. Vol.15(4) [October 2016) (hal: 580-586). 

















Share with your friends

1 komentar

  1. Tagged "iron phone case" - The TITanium Art Museum
    ti 89 titanium calculator stone-case-t › stone-case-t Oct 4, westcott titanium scissors 2018 — Oct 4, babyliss pro titanium 2018 Tagged "iron phone case" - The TITanium Art Museum has many excellent, original and titanium bolts vintage titanium nose jewelry art prints and designs.

    BalasHapus

Silanhkan di Komentar

Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done