Mengungkap Fakta Historis Mitos-Mitos Asal-Usul Suku Bangsa Tolaki Melalui Pendekatan Hermeneutika - LINGKAR STUDI SEJARAH
News Update
Loading...

Selasa, 27 Februari 2018

Mengungkap Fakta Historis Mitos-Mitos Asal-Usul Suku Bangsa Tolaki Melalui Pendekatan Hermeneutika




STUDI SUMBER SEJARAH BERBASIS TRADISI LISAN Mengungkap Fakta Historis Mitos-Mitos Asal-Usul Suku Bangsa Tolaki  Melalui Pendekatan Hermeneutika Filosofis[ Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Sulawesi Tenggara dengan tema “Pengembangan Pembelajaran Sejarah Melalui Kajian Berbasis Etnopedagogis



Dr. Aslim, S. S., M. Hum.


I. PENDAHULUAN


A. Permasalahan

Disiplin Sejarah merupakan salah satu disiplin ilmu yang paling luas ruang lingkup objek studinya. Keluasan ruang lingkup objek studi sejarah itu hampir menyamai disiplin Filsafat. Ibrahim Alfian (1999: 2) dan Kuntowijoyo (2013: 14) menjelaskan bahwasanya objek material studi sejarah adalah suatu rekonstruksi atas segala sesuatu yang sudah dipikirkan, dikatakan, dikerjakan, dirasakan, dan dialami oleh orang yang menimbulkan perubahan (change) melalui dimensi waktu. Sementara itu, objek formal Sejarah sebagai alat analitis objek materialnya adalah bisa menggunakan pendekatan swadisiplin (Sejarah) dan Ilmu-ilmu Sosial-Humaniora lainnya.

Berdasarkan tinjauan ruang lingkup objek studi sejarah di atas, terlihat bahwa disiplin Sejarah dapat mengkaji dan membahas apa saja tentang eksistensi manusia berikut segala fenomena kehidupan yang telah di-ada-kan dan melingkupinya dalam dimensi ruang dan waktu, asalkan hal itu sungguh-sungguh telah menyebabkan change lagi memiliki sumber-sumber/data sejarah (historical sources) sebagai evidensinya. “Sejarah adalah ilmu tentang perubahan,” demikian penegasan Marc Bloch (Kuntowijoyo, 2003: xii), lalu diktum fundamental Sejarah adalah: No document no history ‘tanpa dokumen–sumber sejarah–tidak ada sejarah’ (Suhartono, 2010: 30). Oleh karena itu, tanpa memenuhi kedua indikator kesejarahan itu, kreasi penceritaan mengenai entitas masa lampau umat manusia haram disebut sebagai karya sejarah tetapi lebih tepat dinamakan sebagai stori atau fiksi belaka.

Aspek perubahan dari pengejawantahan mentalitas umat manusia kiranya relatif mudah untuk ditelaah dan dikenali oleh para sejarawan (penulis sejarah). Namun, usaha heuristik dalam rangka menemukan “saksi-saksi mata” (witness)–dalam arti luas maupun khusus–yang koheren dengan topik penelitian, tidaklah selalu berjalan mulus. Apalagi jenis studi itu bersifat sejarah lokal, semacam histori asal-usul suku bangsa Tolaki, amatlah sukar menemukan sumber-sumber sejarahnya, baik yang berwujud sumber material/kebendaan (material sources), seperti dokumen, arsip, foto, dan peninggalan-peninggalan artefak maupun sumber lisan (oral sources) yang berupa sejarah lisan (oral history) dan tradisi lisan (oral tradition). Kelangkaan sumber-sumber sejarah itu, utamanya berupa dokumen, arsip, dan sejarah lisan memang merupakan persoalan klasik-struktural yang melilit rekonstruksi sejarah lokal Sulawesi Tenggara sejak dahulu kala. Karena itu, perlu perhatian dan kerjasama dari semua pihak untuk memecahkan persoalan tersebut.

Hasrat menuliskan sejarah lokal Sulawesi Tenggara seperti merekonstruksi histori asal-usul suku bangsa Tolaki di tengah minimnya sumber dokumen dan sejarah lisan, alih-alihnya dapat ditempuh dengan studi tradisi lisan. Tradisi lisan Tolaki, seperti mitos-mitos Oheo, Pasa’eno, Wekoila, dan Onggabo dalam hal ini dapat dipakai sebagai jalan alternatif untuk mewujudkan hasrat tersebut. Namun demikian, mendapatkan fakta historis yang merupakan bahan baku penulisan sejarah (historiografi) asal-usul suku bangsa Tolaki dari mitos-mitos di atas, tidaklah mudah jika dibandingkan dengan sumber dokumen dan sejarah lisan. Maka dari itu, dibutuhkan pendekatan metodologis yang tepat untuk menguak fakta-fakta historis dari entitas mitos-mitos tersebut. Pada upaya mengungkap fakta-fakta historis mitos-mitos Tolaki ini, pendekatan yang dipilih penulis adalah Hermeneutika filosofis.

Penelitian ini hendak menjawab dua pertanyaan berikut.

1) Bagaimana substansi mitos-mitos Tolaki Oheo, Pasa’eno, Wekoila, dan Onggabo?

2) Apa interpretasi Hermeneutika filosofis terhadap fakta-fakta sejarah mitos-mitos Oheo, Pasa’eno, Wekoila, dan Onggabo?









B. Tinjauan Pustaka

Eksistensi mitos dalam bangunan keilmuan sejarah sangatlah penting. Pasalnya, mitos merupakan salah satu alat bagi ilmu Sejarah untuk memasuki dan mengekplorasi fakta-fakta sejarah yang terdapat di masa lampau umat manusia. Dalam metode sejarah, mitos dan tradisi lisan (oral tradition) merupakan rumpun sumber lisan di samping oral history (Helius Sjamsuddin, 2007: 97). Mitos ada yang berisikan pula sebagai peristiwa atau kondisi yang benar-benar faktual. Van Baal (1987: 48) menerangkan bahwa mitos pada umumnya memang berisikan fantasi tetapi sekali tempo juga benar-benar memuat peristiwa sejarah. Mitos karenanya merupakan data penting untuk mendapatkan informasi tentang pikiran manusia. Mitos adalah berupa pula pernyataan kepercayaan keagamaan dalam bentuk cerita yang erat perhubungannya dengan masalah ritual dan pandangan yang dimiliki seseorang tentang sifat rahasia dari dunia sekitarnya, baik yang sifatnya religius maupun duniawi.

Malinowski (Burke, 2003: 152–153) sementara itu menjelaskan bahwa mitos adalah cerita yang mempunyai fungsi sosial. Sebuah mitos adalah suatu cerita tentang masa lampau yang berfungsi sebagai ‘piagam’ untuk kekinian yang dijalankan untuk fungsi legitimasi dan justifikasi demi beberapa pranata yang ada kini sehingga keberadaannya dapat dipertahankan. Mitos merupakan pula suatu cerita yang isinya tentang pesan atau ibarat moral. Misalnya, kemenangan kebaikan atas kejahatan, serta tokoh-tokoh, apakah sebagai pahlawan atau penjahat, yang disifatkan sebagai lebih besar (atau lebih kecil) daripada kehidupan.

Mitos-mitos menurut van Baal (1987: 42–43) pada umumnya dijelaskan dengan tiga cara berikut: (a) sebuah mitos ialah alegori yang disusun oleh para penyair tentang perjuangan antara unsur-unsur atau lambang-lambang bermacam-macam bakat dan watak manusia seperti rasio, kebodohan, dan cinta, (b) sebuah mitos ialah cerita tentang para raja dengan kekuasaan besar dan kebijaksanaan tinggi, yang hidup di zaman kuno sekali, lalu didewakan oleh anak-cucu, dan (c) sebuah mitos ialah berupa hasil penipuan dari para imam dan raja, yang dengan cara itu menciptakan suatu posisi kekuasaan bagi diri sendiri untuk mengekang massa rakyat.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa isi mitos merupakan campuran antara peristiwa yang benar-benar terjadi (sejarah) dengan hanya fantasi belaka. Mitos dipertahankan eksistensinya oleh masyarakat suku bangsa dengan motif dan tujuan yang beraneka ragam

C. Landasan Teori

Kedudukan Hermeneutika bagi Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora amat fundamental. Sebabnya, fokus studi rumpun disiplin Ilmu Sosial dan Humaniora itu adalah tentang dunia makna. Dunia makna, baik makna empirik maupun makna hakikat, hanya dapat dieksplorasi dan dinyatakan secara terbuka melalui bangunan keilmuan Hermeneutika. Bagus dalam karyanya, Kamus Filsafat (2005: 283) menjelaskan bahwa Hermeneutika adalah ilmu dan teori tentang penafsiran yang bertujuan menjelaskan teks mulai dari ciri-cirinya, baik objektif (arti gramatikal kata-kata dan variasi-variasi historisnya), maupun subjektif (maksud pengarang). Selanjutnya, kamus Webster’s Third New International Dictionary (Palmer, 2005: 4) menerangkan bahwa hermeneutika adalah studi tentang prinsip-prinsip metodologis interpretasi dan eksplanasi entitas teks.

Hermeneutika merupakan pula ilmu tentang proses mengerti tentang makna fenomena kehidupan melalui daya berpikir filosofis yang bersifat reflektif dan kritis. Dalam konteks pemahaman demikian, Carl Braathen merupakan filsuf yang mampu mengakomodasi pengertian hermeneutika sebagai seperangkat prinsip metodologis penafsiran dan hermeneutika sebagai penggalian filosofis dari sifat dan kondisi yang tak bisa dihindarkan dari kegiatan memahami. Alhasil, Carl Braathen mengutarakan bahwa hermeneutika adalah ilmu yang merefleksikan bagaimana satu kata atau satu peristiwa di masa dan kondisi yang lalu bisa dipahami dan menjadi bermakna secara nyata di masa sekarang sekaligus mengandung aturan-aturan metodologis untuk diaplikasikan dalam penafsiran dan asumsi-asumsi metodologis dari aktivitas pemahaman (Fakhruddin Faiz, 2003: 10).

Eksistensi Hermeneutika meskipun dapat dipakai sebagai alat untuk menafsirkan berbagai bidang kajian keilmuan, tetapi menurut Roger Trigg, peran yang paling urgennya adalah dalam bidang ilmu Sejarah dan kritik teks. Sebabnya, disiplin Sejarah dalam usaha memahami makna teks sebagai produk masa lampau senantiasa mempertimbangkan kerangka pikir dan kondisi zaman, sehingga keberadaan Hermeneutika dalam berbagai pemahamannya sangat penting bagi ilmu Sejarah (Fakhruddin Faiz, 2003: 11).

Bangunan substansi Hermeneutika lebih jauh, secara garis besar dapat dinyata-kan sebagai berikut. Pertama, Hermeneutika adalah teknik praksis pemahaman atau penafsiran. Pemahaman ini lebih dekat dengan tindakan eksegesis atau penjelasan teks. Kedua, Hermeneutika dipahami sebagai sebuah metode penafsiran. Dalam konteks ini, Hermeneutika berisi perbincangan teoretis atas the conditions of possibility sebuah penafsiran. Hermeneutika karenanya menyangkut hal-hal apa yang seharusnya dibutuhkan; atau langkah-langkah bagaimana yang seharusnya dilakukan demi menghindari pemahaman yang keliru terhadap teks. Ketiga, Hermeneutika dipahami sebagai filsafat penafsiran. Dalam pengertian ini, Hermeneutika menyoroti secara kritis bagaimana bekerjanya pola pemahaman manusia dan bagaimana hasil pemahaman manusia itu diajukan, dibenarkan, dan bahkan disanggah oleh pihak lain. (Mudjia Raharjo, 2008: 32).

Uraian bangunan substansi Hermeneutika di atas meskipun tampaknya berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, tetapi sebenarnya merupakan satu bangunan yang kohesif yang tidak mungkin dipisah-pisahkan. Bangunan yang pertama dari Hermeneutika adalah sebagai metode kegiatan memahami teks. Bangunan kedua dari Hermeneutika yaitu sebagai metodologis memahami teks, sedangkan bangunan yang ketiga dan keempat dari Hermeneutika adalah merupakan domain disiplin ilmu dan filsafat. Maka dari itu, penelitian ini mengakomodasi semua bangunan substansi Hermeneutika tersebut di atas.

II. PEMBAHASAN

A. Sekilas tentang Substansi Mitos-mitos Tolaki: Mitos Oheo, Pasa’eno,

Wekoila, dan Mitos Onggabo

Suku bangsa Tolaki sebagaimana etnis Buton, Muna, dan Moronene, meng-anggap tapu’u wonua-nya (cikal bakalnya) berasal dari luar Sulawesi Tenggara. Atas perspektif ahistoris, tapu’u wonua suku bangsa Tolaki terkait dengan manusia super. Beberapa folklor lisan Tolaki yang meriwayatkan itu antara lain, mitos Oheo, Pasa’eno, Wekoila, dan mitos Onggabo.

Mitos Oheo menuturkan bahwa tapu’u wonua suku bangsa Tolaki adalah Oheo, seorang Jawa, yang berasal dari kampung kaki gunung Arjuna (kini: Arjuno) Malang, Jawa Timur. Oheo menetap di Lasolo dan kawin dengan seorang bidadari yang bernama Anawai Ngguluri. Anak-anak pasangan hidup Oheo-Anawai Ngguluri inilah yang menurunkan suku bangsa Tolaki (Tarimana, 1985: 50–53).

Mitos Pasa’eno mengisahkan bahwa kakek moyang suku bangsa Tolaki bernama Pasa’eno. Pasa’eno lahir di kampung Mowewe oleh sesosok wanita dari langit bernama Wesande yang tak punya suami, tetapi dapat kehamilan karena meminum air tetampung dari helai daun pandan yang diambilnya di hutan rimba pegunungan hulu sungai Mowewe (Kruijt, 1922: 694; Klift, 1925: 68–69).

Mitos Wekoila sementara itu meriwayatkan bahwa nenek moyang orang Tolaki adalah dua sosok manusia super kakak beradik yang datang di tanah Olo-Oloho dengan menumpangi sehelai sarung (Kruijt & Kruijt, 1921: 962). Akhirnya, mitos Onggabo mengisahkan bahwa kakek moyang kaum Tolaki adalah Onggabo, sesosok manusia keramat yang tidak jelas asal asulnya. Onggabo datang di muara sungai Sampara dengan kapal dan setelah bersauh pergi ke Olo-Oloho menyusur sungai Konawe’eha. Beberapa waktu di Olo-Oloho, Onggabo lantas mengawini putri Elu, seorang cucu Wekoila (Treffers, 1914: 203).

Kadar kebenaran pengetahuan mitos-mitos di atas apabila diukur dari sudut ilmiah sangatlah rendah, tetapi secara fungsional substansi mitos-mitos itu amatlah berfaedah dalam upaya membuka selubung dan merekonstruksi hal-ikhwal cikal bakal suku bangsa Tolaki menurut ilmu sejarah. Satu bahasa yang tersirat dari pengetahuan keempat mitos di atas, ialah adanya penerangan bahwasanya nenek moyang suku bangsa Tolaki berasal dari luar daratan Sulawesi Tenggara. Beberapa mitos bahkan telah menyebut secara eksplisit berasal dari Jawa dan Langit.



B. Studi Hermeneutika-Filosofis atas Pengungkapan Fakta-fakta Sejarah

Mitos Oheo, Pasa’eno, Wekoila, dan Mitos Onggabo



Sebutan filosofis yang dikaitkan pada istilah Hermeneutika mengandung suatu tekanan bahwa kegiatan atas penafsiran teks-teks (dalam pengertian luas, seperti simbol, mitos, peristiwa, dan lain-lain) adalah dilakukan secara perpikiran reflektif dan kritis. Namun, sebenarnya usaha menafsir teks itu tidak mungkin lepas dari filsafat.

Mitos adalah sebuah teks yang netral. Tanpa perhatian dari subjek (manusia), mitos tidaklah bermakna apa-apa. Karena itu, makna teks (mitos) jelas datang dari subjek manusia sesuai dengan cara pandangnya.

Pada kasus penelitian ini, di mana tujuan kegiatan hermeneutika adalah untuk mengungkap fakta-fakta sejarah yang terdapat pada mitos-mitos suku bangsa Tolaki, seperti mitos Oheo, Pasa’eno, Wekoila, dan mitos Onggabo, maka cara memahami jiwa pengetahuan mitos-mitosnya, perlu penginterpretasian yang bertumpu pada sumber-sumber sejarah. Granat (Needham, 1973: 53) menyatakan proposisinya bahwa yang dimaksud dengan kerajaan langit pada masa dahulu adalah Cina. Proposisi Granat itu tentu mengandung unsur kebenaran ilmiah. Slamet Muljana (2005: 185–186) berkenaan dengan hal itu menjelaskan bahwa pada 1253 Kaisar Shih-Tsu Khubilai Khan dari Mongol telah menguasai seluruh Tiongkok dan menyebut dirinya putra langit. Khubilai Khan belum puas dengan penguasaan daratan Asia dan lautannya, tetapi menginginkan pula agar semua negara di sepanjang pantai Asia mengakui kekuasaannya sebagai putra langit dan mempersembahkan upeti ke istana Syang Tu.

Buku Indonesia dalam Arus Sejarah II: Kerajaan Hindu-Buddha (2013: 232) yang disunting oleh sejarawan Taufik Abdullah dan A.B. Lapian menjelaskan pula bahwa penguasa-penguasa kerajaan di Asia bagian Tenggara yang tidak mau tunduk di bawah kekuasaan Kaisar Khubilai Khan dan enggan menyerahkan upeti ke istana Syang Tu, niscaya ditindak dengan kekuatan militer. Banyak negara atau kerajaan di Asia bagian Tenggara akhirnya mengakui kekuasaan dinasti Yuan Khubilai Khan dan mengirimkan utusan ke Tiongkok demi menyerahkan upeti.

Sarasin (1905: 374) dan Kruijt (1922: 428) berdasarkan evidensi di atas, mengajukan proposisi bahwa salah satu unsur leluhur suku bangsa Tolaki adalah berasal dari Cina. Kaum Cina itu datang di Sulawesi Tenggara daratan melalui rute utara, yaitu Pilipina (Kepulauan Mindanao), Sulawesi Utara, Halmahera dan Sulawesi bagian timur, terus memasuki muara sungai Lasolo atau sungai Konawe’eha dan akhirnya memilih lokasi permukiman pertama pada hulu sungai itu, di suatu lembah luas yang bernama Andolaki. Dahulu suku bangsa Tolaki memang menamakan dirinya Tolahianga ‘orang langit’ (To=orang, putra; Hianga=langit atau kayangan). Kemungkinan maksudnya semacam dari kerajaan langit atau Cina. Kata Tolaki heo yang artinya ‘ikut pergi ke langit’ mirip pula dengan kata Cina hiu yang artinya ‘langit’.

Keberadaan fenomena-fenomena tersebut menandakan bahwa pada masa lalu, setidaknya pada akhir abad ke-13, etnis Cina telah ada dan tinggal di wilayah Sulawesi Tenggara bagian daratan atau paling tidak telah ada kontak sosial dengan suku bangsa Tolaki yang akhirnya mempengaruhi kebudayaan Tolaki.

Mitos Oheo yang mengisahkan bahwa cikal bakal suku bangsa Tolaki adalah seorang pria Jawa dan bidadari bernama Anawai Ngguluri–menurut versi Granat dan Muljana di atas berarti seorang putri dari Cina–mirip dengan pola folklor Buton yang mengisahkan pula bahwa di antara keturunan orang Buton ialah hasil perkawinan antara seorang pria Jawa bernama Sibatara dengan putri Cina bernama Wakaaka.

Sibatara dalam pemahaman sejarah lokal Buton adalah seorang penggawa Kerajaan Majapahit yang ditugaskan di negeri Buton untuk menangani segala urusan Kerajaan terbesar di Nusantara itu. Negeri Buton pada saat itu memang merupakan vasal Kerajaan Majapahit (Manarfa, 1948: 15–30; Aslim, 2006: 33). Wakaaka sementara itu adalah seorang penggawa Dinasti Yuan Khubilai Khan yang menyelamatkan diri di Buton bersama rombongan pada sekitar 1293 M setelah sebelumnya bersama Raden Wijaya (wangsa Kerajaan Singasari) dan pasukan Madura dengan pimpinan Arya Wiraraja perang melawan Kerajaan Kadiri. Ketiga pasukan sekutu pada peperangan itu sukses mengalahkan Kerajaan Kadiri, tetapi laskar Khubilai Khan justru kemudian diserang secara tiba-tiba oleh para prajurit Raden Wijaya di saat mau ke kapal untuk kembali ke negeri Cina lagi. Serangan dadakan tersebut tidak mampu terlawan oleh pasukan Kekaisaran Yuan Khubilai Khan. Akhirnya, Wakaaka melarikan diri ke Pulau Buton dan kemudian menikah dengan Sibatara serta diangkat sebagai ratu pertama negeri Buton (Manarfa, 1948: 15–30; Aslim, 2006: 33).

Sebagaimana penggalan rekonstruksi sejarah Buton di atas, maka boleh saja ditafsirkan bahwa kemungkinan yang dimaksudkan dengan orang Jawa pada mitos Oheo dan Wekoila di atas juga adalah seorang bangsawan yang diutus oleh salah satu kerajaan di Jawa sebagai wakilnya di negeri-negeri yang dianggap vasalnya di wilayah Sulawesi Tenggara. Maka dari itu, adanya klaim bahwa cikal bakal suku bangsa Tolaki di antaranya adalah berasal dari negeri Jawa dan Cina kiranya memiliki juga kebenaran ilmiah. Tarimana (1993: 52) menengarai bahwa orang Jawa yang datang di Sulawesi Tenggara daratan kemungkinan melalui Buton dan Muna dan memasuki muara Sungai Konawe’eha, dan terus memilih lokasi pemukiman di Toreo, Landono, dan Besulutu.

Komponen masyarakat Tolaki awal menurut sumber lain juga berasal dari daerah tetangga bagian utara Sulawesi Tenggara, yaitu Sulawesi Tengah. Dua Antropolog bersaudara kebangsaan Jerman, Paul Sarasin dan Fritz Sarasin, pada 1903 pernah datang di Sulawesi Tenggara dan melakukan penelitian tentang suku bangsa Tolaki. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa salah satu unsur nenek moyang suku bangsa Tolaki adalah berasal dari Andolaki, suatu wilayah yang terletak di sekitar danau Matanna, Sulawesi Tengah (Sarasin & Sarasin, 1905: 340).

Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh Kruijt, seorang kebangsaan Belanda, yang pada 1920 pernah melakukan penelitian di Sulawesi Tenggara perihal orang Tolaki. Kruijt menerangkan bahwa

de To Laki zijn weer nauw verwant aan de stammen die bij de meren van Malili en in Mori wonen, en op grond van de onderzoekingen, die later door den Heer J. Kruijt zijn ingesteld, kunnen zij als vrij zeker aannemen, dat de To Laki behoren tot den Morischen moederstam, en dat zij van het noorden naar het zuiden trekkende hun tegenwoordig woongebied hebben bezet. De verhuizing zal eerst wel hebben plaatsgehad langs de Laa Solo-rivier die hare bronnen dicht het Towoeti-meer heft.

(Kaum Tolaki sangat berhubungan erat eksistensinya dengan suku-suku yang tinggal di sekitar danau Malili dan Mori, dan atas dasar hasil penelitian J. Kruijt, cukup meyakinkan bahwasanya etnik Tolaki merupakan suku induk Mori. Mereka datang dari utara menuju selatan, lalu menduduki habitatnya yang sekarang. Adapun yang pertama-tama etnik Tolaki lakukan adalah memilih tempat tinggal di sepanjang bantaran sungai Lasolo yang berhulu di sekitar danau Towoeti). (Kruijt, 1922: 438).

Penelitian Kruijt di atas menyatakan bahwa suku bangsa Tolaki mempunyai pertalian darah dengan suku-suku bangsa yang tinggal di sekeliling danau Malili dan Mori. Malahan, hampir dapat dipastikan bila etnis Tolaki adalah suku bangsa induk Mori. Orang Tolaki melakukan migrasi ke Sulawesi Tenggara mengikuti bujuran sungai Lasolo yang berhulu di sekitar danau Towuti Sulawesi Tengah.

Pendapat Sarasin bersaudara dan Kruijt di atas agaknya disetujui oleh banyak kalangan Tolaki. Chalik misalnya, seorang tokoh masyarakat Tolaki Konawe, menuturkan, bahwa suku bangsa Tolaki memang berasal dari utara, di daerah sekitar danau Matanna dan Towuti Sulawesi Tengah dan melakukan perpindahan ke jazirah Sulawesi Tenggara dengan beberapa asumsi. Pertama, mungkin karena terjadi peperangan dengan suku-suku bangsa tetangga. Kedua, barangkali karena dorongan untuk mencari nafkah hidup sebagai peladang dan bermukim di lembah atau di daerah-daerah yang lebih subur. Sementara itu, seorang tokoh masyarakat Tolaki Mekongga bernama Pingak menegaskan pula, bahwa suku bangsa Tolaki adalah serumpun dan memiliki pertalian darah yang dekat dengan suku bangsa Toraja, To Bungku, dan To Mori. Keempat suku bangsa Sulawesi itu sebelum berpencar-pencar permukimannya di kawasan pulau Sulawesi, mulanya adalah satu suku bangsa yang hidup di sekitar danau Matanna dan Towuti Sulawesi Tengah (P3KD Prop. Sultra, 1977: 21–22).

Keyakinan bahwa suku bangsa Tolaki, Toraja, To Bungku, dan To Mori awalnya termasuk satu kelompok suku bangsa, terkuatkan oleh evidensi biologis dan kultural. Aspek biologis, menunjukkan bahwa jenis kulit, rambut, dan postur badan, pada umumnya keempat suku bangsa itu memiliki ciri-ciri yang sama, yaitu badan berpostur sedang; kulit berwarna putih; rambut berwarna hitam lurus. Aspek kultural menunjukkan bahwa keempat suku bangsa itu memiliki unsur-unsur kesenian yang amat mirip antara satu dengan yang lainnya. Contohnya, tarian lariangi milik suku bangsa Tolaki ialah sama dengan tarian malbadong suku bangsa Toraja; tarian pergaulan suku bangsa Tolaki molulo, dikenal pula di kalangan suku bangsa To Mori dengan nama tarian yang sama. Banyak kata dengan arti yang sama dipergunakan oleh suku bangsa Tolaki dan suku bangsa To Mori, contohnya: pae ‘padi’, meda ‘meja’, wulaa ‘emas’, dan monggaa ‘makan’ (P3KD Prop. Sultra, 1977: 22–27).

Dari uraian interpretasi filosofis di atas, menunjukkan bahwa secara historis kultural cikal bakal suku bangsa Tolaki adalah campuran dari berbagai etnis yang hidup di Nusantara dan mancanegara, yaitu Jawa, Buru (Maluku), Luwu, dan Cina. Dengan demikian, masyarakat Tolaki sebenarnya, sejak dahulu kala terbentuk dari sosioetnis yang pluralistis.



III. KESIMPULAN

Penelitian ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut.

1) Mitos sebagai peninggalan lisan dari masa lampau umat manusia sangat penting keberadaannya bagi ilmu Sejarah. Hal itu karena mitos merupakan salah satu alat tempat memasuki dan mengekplorasi fakta-fakta sejarah. Pada kasus penelitian ini, mitos-mitos Tolaki, seperti Oheo, Pasa’eno, Wekoila, dan mitos Onggabo, telah memberikan petunjuk yang jelas tentang asal-usul suku bangsa Tolaki.

2) Petunjuk mitos-mitos Oheo, Pasa’eno, Wekoila, dan mitos Onggabo, tentang asal-usul suku bangsa Tolaki, niscaya masih bercampur fiksi. Untuk menyatakannya sebagai kebenaran fakta sejarah tentu saja dibutuhkan sebuah alat analitis. Dalam hal ini, alat analitis yang tepat adalah teori dan metodologi Hermeneutika filosofis. Dengan menggunakan teori dan metodologi Hermeneutika filosofis, maka fakta sejarah mengenai asal-usul suku bangsa Tolaki yang tersirat dalam mitos-mitos Oheo, Pasa’eno, Wekoila, dan mitos Onggabo bisa dinyatakan secara gamblang yang kredibilitasnya dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.



DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik & A.B Lapian. (eds.) 2010. Indonesia dalam Arus Sejarah II: Kerajaan Hindu-Buddha. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.

Aslim. 2006. “Konflik Politik dalam Tubuh Elite Kaomu Kamboru-mboru Talu Palena di Kesultanan Buton, 1906-1960.” Tesis S-2 Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada,Yogyakarta.

Bagus, Lorens. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Burke, Peter. 2003. History and Social Theory. (Dialihbahasakan oleh Mestika Zed dan Zulfami menjadi: Sejarah dan Teori Sosial). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Faiz, Fakhruddin. 2003. Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi. Yogyakarta: Penerbit Kalam.

Ibrahim Alfian, Teuku. 1999. “Disiplin Sejarah dalam Merekonstruksi Masa Lampau untuk Menyongsong Masa Depan”. Makalah pada Lokakarya Nasional Pengajaran Sejarah Arsitektur ke-4, Yogyakarta.

Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Kruyt, Albert C. & Kruyt, 1921, “Verslag naar Reisen in Onderafdeling Kolaka, Zuidos Oost Celebes, dalam KNAG, XXXVIII, hlm. 964-965.

Kruyt, Albert C., 1922, “Een en ander over de Tolaki van Mekongga,” dalam Tijd, LXI, hlm. 427-470.

Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.

___________. 2013. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Manarfa, La Ode. 1948. “Boeton en Haar Standenstelsel”. Tesis M.A University of Leiden, Leiden.

Muljana, Slamet. 2005. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LkiS.

Needham, R. (ed.). 1973. Right and Left: Essays on Dual Symbolic Classification. Chicago: The University of Chicago Press.

Palmer, R.E. 2005. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

P3KD Prop. Sultra. 1977. Adat-Istiadat Daerah Sulawesi Tenggara. Jakarta: Depdikbud.

Raharjo, Mudjia. 2008. Dasar-Dasar Hermeneutika: Antara Intensionalisme & Gadamerian. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Sarasin, Paul. & Fritz Sarasin. 1905. “Reise von der Mingkoka-Bai Nach Kendari, Südost Celebes,” dalam Reisen in Celebes, 2 jilid, Wiesbaden, hlm. 334-381.

Sjamsuddin, Helius. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Suhartono W. P. 2010. Teori dan Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Tarimana , Abdul Rauf. 1985. “Kalo sebagai Fokus Kebudayaan Tolaki: Suatu Lukisan tentang Asas Klasifikasi Simbolik dan Struktural dalam Kebudayaan Orang Tolaki di Kendari dan di Kolaka Propinsi Sulawesi Tenggara”. Disertasi S-3 Universitas Indonesia, Jakarta.

___________.1993. Kebudayaan Tolaki. Seri Etnografi Indonesia No: 3. Jakarta: Balai Pustaka.

Treffers, F. 1914. “Het Landschap Laiwoei in Zudost Celebes en Zijne Bevolking,” dalam TNAG, XXXI, hlm. 188-221.

Van Baal, J. 1987. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya: Hingga Dekade 1970. Jilid 1. Pengindonesia J. Piry. Jakarta: PT. Gramedia.

Van der Klift, H. 1925. “Huidige Stand van het Zendingswerk op Zuid-Oost-Celebes,” dalam MNZ, LXIX, hlm. 242-257.


Share with your friends

Give us your opinion

Silanhkan di Komentar

Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done