STRATEGI PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL ETNIK BAJO UNTUK MENGATASI KASUS PUTUS SEKOLAH PADA USIA SEKOLAH DASAR DI PULAU SAPONDA KECAMATAN SOROPIA KABUPATEN KONAWE

Admin | | , , ,

STRATEGI PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN 


BERBASIS KEARIFAN LOKAL ETNIK BAJO 


UNTUK MENGATASI KASUS PUTUS SEKOLAH PADA USIA SEKOLAH DASAR DI PULAU SAPONDA KECAMATAN SOROPIA KABUPATEN KONAWE[1]

Oleh 

Pendais Hak[2] 





(ARTIKEL PADA SEMINAR HOTEL IMPERIAL KENDARI 2017)






ABSTRAK 


Kajian ini berbasis penelitian dengan orientasi mengatasi permasalahan kasus putus sekolah anak-anak usia sekolah dasar pada SD Negeri Desa Saponda Pulau Saponda Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe. Kajian ini mengacu pada tiga permasalahan (1) bagaimana kondisi dan faktor penyebab tingginya kasus putus sekolah? (2) bagaimana potensi kearifan lokal yang berbasis pada etnik Bajo yang ada di Pulau Saponda? (3) bagaimana strategi dan program strategisnya dalam melakukan pengembangan pembelajaran melalui introduksi budaya dan kearifan lokal untuk mengatasi masalah kasus putus sekolah anak-anak usia SD di Pulau Saponda? Kajian ini dikembangkan atas beberapa data yang diperoleh melalui pengamatan, wawancara, dan diskusi terfokus pada tokoh dan pakar untuk merumuskan bentuk strategi dan program strategi yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut. Hasil penelitian dan kajian ini adalah (1) Inovasi materi/bahan ajar melalui internalisasi dan integrasi nilai-nilai kearifan lokal baik secara ekspository strategy maupun social inquiry strategy dapat mengatasi kejenuhan pada materi yang selama ini terkesan asing dari kehidupan siswa. Kedua, Pengembagan Model/Metode Pembelajaran yang menyenangkan dan memiliki daya tarik berbasis pada potensi sosial budaya masyarakat Bajo. Ketiga Inovasi media pembalajaran berbasis potensi kearifan lokal, bertujuan membangun daya tarik dan minat siswa untuk tetap bertahan dalam kegiatan pembelajaran baik di kelas maupun di luar kelas. 






Kata Kunci: Putus Sekolah, Faktor Penyebab, dan Potensi kearifan lokal Etnik Bajo 






PENDAHULUAN


Pendidikan salah satu program utama dan mendasar dari pembangunan nasional. Pada batang tubuh UUD 1945 tercantum dengan jelas bahwa salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mencapai tujuan tersebut tentunya melalui pendidikan. Berbagai regulasi dan kebijakan telah dirumuskan dan dijalankan untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Bentuk penjabaran kebijakan nasional pendidikan yang lebih terencana oleh pemerintah telah dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) tahun 2005–2025 dengan menstressing pada tiga pilar yaitu mengupayakan pemerataan dan perluasan akses pendidikan, peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing keluaran pendidikan, dan peningkatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik pengelolaan pendidikan. Pada titik inilah diperlukan paradigma pendidikan yang relevan dengan perkembangan sosial budaya masyrakat. 


Menurut Tilaar (2004:20) Paradigma baru pendidikan nasional lebih menekankan pada tiga hal yaitu redefenisi dan pemerataan akses, pendidikan sebagai proses pemberdayaan, dan pendidikan sebagai proses pembudayaan. Kenyataannya, masih ada beberapa wilayah dan kelompok masyarakat yang masih terbelakang khususnya pada masyarakat yang tinggal dikawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Di kawasan ini mereka menuai beberapa masalah misalnya terbatasanya akses pendidikan, minimnya sarana prasarana, mutu pendidikan masih jauh di bawah standar, kurangnya partisipasi siswa dalam proses pembelajaran, tingginya angka drop out (putus sekolah), serta berbagai proses pembelajaran yang diperoleh belum sesuai standar pendidikan. Penyataan tersebut lahir dari hasil telaah dari beberapa penelitian yang dilakukan oleh Alimaturahim tahun 1991, kemudian Anwar tahun 2003, dan terakhir Ketut Suardika tahun 2011 yang secara spesifik mengangkat keterpinggiran pendidikan pada masyarakat nelayan khususnya suku bajo yang ada di Pulau Saponda yang menjadi objek yang sama dari penelitian ini. 


Kajian dan penelitian ini sesungguhnya merupakan tindak lanjut dari penelitian-penelitian sebelumnya, misalnya dalam penelitian Anwar (2003) menguraikan bahwa masyarakat suku bajo susah tersentuh oleh pendidikan nasional karena mobilitas sosialnya yang tinggi baik dalam hal mencari kehidupan di laut maupun memasarkannya di daratan. Akibatnya mereka lebih mempertahankan sistem belajar aslinya (indigenous learning system) dimana anak-anak mereka dari kecil sudah dilibatkan dalam proses mencari kehidupan di laut dan memandang pendidikan tidak memiliki manfaat dalam kehdupan mereka. Pada penelitian Ketut Suardika (2011) menguraikan cukup banyak bentuk-bentuk keterpinggiran pendidikan selain masalah klasik yaitu sarana dan fasilitas pendidikan, sebagaimana juga masih terjadi pada wilayah terpencil lainnya, juga masalah yang lebih khusus misalnya jumlah guru yang sangat terbatas, proses pembelajaran yang dikemas apa adanya, hal ini juga menjadi salah satu penyebab dari tingkat drop out anak usia sekolah yang tinggi, kondisi pulau yang berkases langsung dengan Kota Kendari sebagai ibukota propinsi menyebabkan anak-anak usia sekolah lebih suka mengikuti orang tua mereka ke Kendari untuk memasarkan hasil tangkapannya, akibatnya di pulau ini pada tahun 2011 ditemukan baru 1 orang saja yang menyelesaikan program sarjana (S1) dan saat ini ikut membantu menjadi tenaga pendidik honorer di pulau ini. 


Temuan-temuan tersebut jika ditelaah dan dianalisa lebih dalam tentunya bukan saja faktor kebijakan dan perhatian pemerintah, tetapi juga tidak terlepas dari faktor budaya. Untuk itu diperlukan intervensi berupa desain pengembangan kearifan-kearifan lokal masyarakat khususnya masyarakat suku Bajo di Pulau Saponda sebagai penghuni mayoritas 92 % di pulau ini melalui bentuk integrasi dalam pembelajaran, baik dari aspek materi, metode, maupun media pembelajaran. Dengan demikian anak-anak sekolah (siswa) tidak merasa asing materi pelajaran itu dengan kondisi sosial-budayanya, metode dan media pembelajaran yang disajikan juga memiliki daya tarik dan erat kaitannya dengan budaya dan kesenian mereka. Dengan demikian melalui bentuk pengembangan ini akan menghasilkan suatu bentuk pembelajaran yang menyenangkan, memudahkan, dan yang paling penting mereka merasa nyaman dan tidak berfikir untuk meninggalkan proses pembelajaran untuk lebih mementingkan mengikuti orang tua mereka menagkap ikan.


Tingginya angka putus sekolah dan kurangnya minat belajar siswa paling tidak disebabkan oleh faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal yaitu faktor budaya (culure) dan lingkungan. Kemudian faktor internal yaitu sistim sekolah dan guru itu sendiri. Hal ini relevan juga dengan hasil temuan Suardika (2011) yang menunjukan bahwa interaksi guru dalam pembelajaran sangat rendah karena selain guru yang terbatas dari segi kuantitas juga minimnya pengetahuan dalam melakukan pengembangan model-model pembelajaran dan kurangnya kreatifitas guru yang membuat siswa betah belajar di ruang kelas. 


Menurut Sumiyati (2010:26) desain pembelajaran yang menarik di dalam kelas maupun diluar kelas akan menjadikan siswa memeiliki ketertarikan dan mutivasi dalam belajar. Konteks masyarakat pulau tentunya mengandung banyak permasalahan dalam pendidikan khususnya bagi masyarakat Suku Bajo. Salah satunya melawan kebiasaan (culture) masyarakat cenderung menjadikan pendidikan sebagai pelangkap saja bukan kebutuhan mendasar dalam hidup mereka. Sehingga pendidikan yang tepat bagi mereka seharusnya tidak dipisahkan dari kearifan/budaya mereka. Budaya harusnya bisa menjadi suplemen (modal) bagi pengembangan proses-proses pembelajaran yang lebih konstruktif melalui suatu bentuk reproduksi kebudayaan dalam pembelajaran. 


Menurut Bourdieu (1998) diakses pada unair.ac.id_32373_sospend7 pendidikan termasuk pembelajaran hendaknya jangan dipandang sebagai sistim yang berdiri sendiri. secara umum bahwa sukses dalam sistim pendidikan dapat melalui kemampuan individu menyerap sebanyak-banyaknya (nilai-nilai) budaya dominan atau sebarapa banyak “modal budaya” yang mereka miliki. Dalam teori ini Bourdieu menjelaskan bahwa sekolah (lembaga pendidikan) sangat berperan penting (centrum) dalam mewujudkan realitas sosial bahkan termasuk kondisi sosial yang tidak setara khususnya munculnya kelas-kelas sosial dimasyarakat tidak terlepas dari peran sekolah. Dengan demikian, mestinya sekolah tidak sekedar menjadi agent pemerintah yang hanya menciptakan disparitas sosial yang tinggi, melanggengkan kekuasaan, dan ikut bermain dalam menggiring masyarakat ke dalam ideologi materialisme, akan tetapi sekolah harus mampu memposisikan dirinya sebagai wadah taransformasi sosial dan budaya sesuai dengan kondisi kultural masyarakat setempat. Sekolah dalam hal melalui tenaga pendidiknya harus mampu menggali nilai-nilai budaya yang melingkupi peserta didik serta mentransformasikannya ke dalam sikap dan pikiran-pikiran mereka yang lebih maju dan produktif. 


Pendekatan lain yang dapat dilakukan secara konseptual untuk mengatasi masalah di Pulau Saponda ini adalah membangun model pendidikan transformatif. Salah satu tokoh dari pendidikan transformatif disini adalah Paulo Freire (1973) bertujuan agar suatu kondisi dapat diubah dari bentuk ketidakberdayaan menjadi lebih diberdayakan misalnya melalui cara-cara sederhana dalam kegiatan pembelajaran. Komunitas sekolah dalam hal ini peserta didik agar hendaknya semua stakeholders (khususnya guru dan siswa) tidak menjadikan proses belajar sebagai tuntutan formalitas dan kebutuhan pasar semata, akan tetapi harapannya agar sekolah menempatkan diri sebagai lembaga pendidikan yaitu membangun kemanausiaan yang utuh seperti tertuang dalam bukunya Education as the Practce of Freedom yaitu untuk membebaskan manusia (peserta didik) dari kondisi yang tidak diinginkan tersebut. Tokoh lain yang ikut mempopulerkan dan mengembangkan teori ini adalah Ivan Illich (1995) melakukan kritik pada lembaga pendidikan dalam hal ini sekolah cenderung melakukan pembelengguan jiwa dan pikiran pada siswa. Peradaban masyarakat hanya diletakkan pada sejauhmana kemampuan pendidikan formal (sekolah) hal ini sungguh menafikkan proses-proses infomal serta proses enkulturasi anak (siswa) terhadap lingkungannya. Dengan demikian Ivan Illich menawarkan beberapa konsep yaitu pertama, melawan pengkultusan sekolah sebagai proses transformasi pengetahuan dan sikap bagi siswa dan tentunya masyarakat secara umum. Hal ini sangat jelas tertuang dalam bukunya Descholing Society kemudian diterbitkan oleh Obor Nasional pada tahun 2000 dengan judul bebaskan masyarakat dari belenggu sekolah. Kedua revitalisasi fungsi dan peran sekolah termasuk guru di dalamnya. Menurutnya sekolah belum bisa menjawab bahkan menyelesaikan persoalan yang dihadapi siswa. Sekolah hanya mendorong pada pengasingan siswa dari hidup, pengetahuan diberikan ibarat komoditi, dikemas lalu dijajakan pada siswa yang siap memakan komoditi tersebut, tanpa diajak bagaimana dikemas, bagaimana diproses, untuk apa mengetahui, kenapa mengetahui, dan bagaimana mengetahui, dan yang paling penting kenyamanan dan relevansinya dengan sosio-cultural siswa. Pada titik inilah teori ini penting, untuk menelaah lebih dalam sejauh mana proses pendidikan khususnya pembelajaran yang terjadi selama ini di lokasi penelitian. Melalui elaborasi konsep ini juga bisa menjadi masukan konstruktif bagi desain pengintegrasian beberapa kearifan lokal masyarakat suku bajo dalam penguatan mutu pembelajaran dan agar siswa lebih nyaman dalam menjalani proses pembelajaran tersebut, sehingga angka putus sekolah (drop out) di Pulau Saponda yang saat ini masih tinggi bisa ditekan. 


Atas dasar pijakan dan pemikiran tersebutlah tema ini dirancang menjadi bahan masukan dalam mengatasi berbagai masalah pendidikan pada kawasan tertentu yang masih terisolir sebagaimana di Pulau Saponda dengan rumusan beberapa masalah yaitu (1) bagaimana bentuk-bentuk kearifan lokal yang dapat mendukung peningkatan mutu pembelajaran dan partispasi pendidikan anak usia sekolah di Pulau Saponda?, (2) Faktor-Faktor apa saja yang menyebabkan rendahkan mutu pembelajaran dan partisipasi pendidikan anak-anak usia sekolah pada masyarakat pulau kecil khususnya di Pulau Saponda? (3) bagaimana desain integrasi kearifan lokal masyarakat pada pembelajaran di Pulau Saponda? 






METODE PENELITIAN 


Penelitian ini sebenarnya dilakukan sejak Tahun 2015 yang lalu dengan fokus mengamati kondisi sistim pembelajaran di SDN Saponda. Jenis penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian kualitatif deskriptif. Metode pengumpulan data dilakukan melalui pertama wawancara yang terdiri dari wawancara terstruktur dan wawancara mendalam (indepth interview). Wawancara ini dilakukan untuk menghimpun berbagai informasi terkait dengan proses pembelajaran dan tanggapan peserta didik/siswa untuk menemukan permasalahan pembelajaran yang lebih utuh. Kedua, Focus Group Discussion (FGD) untuk mematangkan data dan membangun konsensus beberapa stakeholders di lokasi penelitian khususnya berkaitan dengan bentuk-bentuk kearifan lokal yang mendukung pebelajaran dan pendidikan serta desain pengintegrasian. Ketiga observasi dan atau pengamatan yang akan dilakukan secara berkala khususnya berkaitan dengan aktivitas-aktivitas tertentu yang menjadi konsen dari penelitian ini. 


Analisis hingga desain model pengintegrasian dilakukan selama 1 bulan yang dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu mulai dari pemetaan data, reduksi, hingga interpretasi pada bagian-bagian tertentu khususnya terkait dengan aspek-aspek nilai dan aktivitas masyarakat yang dapat diintegrasikan dalam suatu kegiatan pembelajaran. Mencari relevansi dan komparasi dengan temuan-temuan yang lain untuk menyimpulkan secara spesifik tentang pilihan model yang dapat dikembangkan bagi masyarakat Bajo yang di Pulau Saponda tersebut. 


Dengan demikian rancangan kerja atau latar pikir metodologis dalam kajian penelitian ini sebagai berikut. 
































































HASIL DAN PEMBAHASAN 


Pembahasan ini diawali dari pemataan kondisi awal, dan untuk memulainya berangkat dari kutipan wawancara dengan salah seorang guru SD Negeri Saponda yang bernama La Milu (8/2015) bahwa angka putus sekolah di sekolah ini sangat tinggi. Bila dibandingkan antara input dan ouput peserta didik bekisar 40 – 50 %. Misalnya yang masuk sebagai Peserta Didik Baru (BDB) sebanyak 30 orang maka yang berhasil hingga menamatkan sekolah 6 tahun hanya sekitar 15 orang. Selanjutnya 15 orang tersebut melanjutkan sekolah pada lanjutan pertama (SMP) dan menyelesaikan atau menamatkan studinya hanya berkisar 10 orang. 


Di pulau ini dengan luas sekitar 400 Ha, hanya memiliki satu sekolah SD yang dibangun pada tahun 1971. Namun seiring dengan perkembangan maka pada tahun 2006 barulah diadakan sekolah setingkat SMP akan tetapi masih bergandengan dengan SD dalam bentuk program SATAP (Sekolah Satu Atap). Dengan demikian, cukup lama sebenarnya masyarakat di desa ini mengalami keterbatasan akses pendidikan khususnya setingkat SMP hingga SMA, apatahlagi perguruan tinggi. Menurut Suardika (2011) Selain karena kondisi wilayah yang terisolir karena berada pada satu pulau kecil, juga tidak terlepas dari kurangnya perhatian pemerintah pada berbagai level pemerintahan. 


Dengan demikian, jika melihat kondisi tersebut, praktis sejak 1971 s/d 2006 anak-anak yang ada di desa ini hanya bisa mengenyam pendidikan dasar 6 tahun saja. Padahal pencanangan wajib belajar 9 tahun jauh sebelumya sudah dincangkan pemerintah. Padahal menurut Tilaar (2004) skema pendidikan dan wajib belajar 9 tahun harus diikuti dengan pengadaan lembaga pendidikan dari SD sampai SMP diseluruh wilayah Indonesia baik secara terpisah maupun dalam bentuk penyatuan dengan SD setempat. Tetapi, sekalipun kesempatan untuk sekolah SD sudah ada sejak 197, tetapi pertanyaannya apakah dengan adanya sekolah tersebut masyarakat yang 90 persen Suku Bajo ini sudah pernah mengenyam pendidikan setingkat SD atau memiliki tingkatan pendidikan SD? Jawabannya tidak. data BPS (2014) dari 377 KK yang memilki tingkat pendidikan SD (tamat) hanya 40 % saja. Fakta ini berbanding lurus dengan informasi awal dari La Mili salah seorang guru yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa angka putus sekolah di SD Saponda ini cukup tinggi, hal ini juga tidak terlepas dari minat belajar siswa yang rendah. 


Dari segi pemetaan kondisi maka dapat dikatakan bahwa sampai saat ini di SD Saponda yang ada di Pulau Saponda mengalami masalah tingginya kasus putus sekolah dan juga rendahnya minat belajar. Keduanya bisa dipandang sebagai dua variebl yang berbeda bisa juga sebagai dua variabel yang saling mempengaruhi. Hasil kajian menunjukan bahwa kondisi tersebut paling tidak dipengaruhi dari dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berupa keadaan atau kondisi sistim dan pelayanan pembelajaran yang diberikan pada sekolah tersebut, sedangkan faktor eksternal berkaitan dengan kondisi sosial-budaya yang melingkupi peserta didik, juga termasuk kondisi geografis masyarakat. 


Hasil pemetaan menunjukan baik faktor internal maupun faktor eksternal sama-sama memberikan dampak bagi rendahnya partisipasi atau tingginya putus sekolah di desa ini. Uraian singkat mengenai faktor tersebut sebagai berikut.








Faktor Internal 


Faktor Eksternal 



1. Minimnya tenaga pendidik. Kondisi pulau yang terisolir dari daratan membuat guru luar yang ditempatkan di sekolah ini tidak bertahan, melakukan berbagai hal dan mencari jalan untuk kembali ke daratan.


2. Sistim dan pendekatan pembelajaran yang dibangun bertumpuk pada guru. Dengan demikian keseluruhan proses pembelajaran tergantung pada kretarifitas dan dominasi guru.


3. Materi yang diajarkan lebih berorientasi pada buku teks. Misalnya materi belajar menulis, membaca, dan menghitung maka simbol dan cerita yang dibangun acuannya pada buku. Padahal tujuan dasarnya sebenarnya untuk membangun keaksaraan siswa yang keseluruhan bahannx bisa dielaborasikan dan dapat mengadopsi materi-materi yang ada di sekitar siswa.


4. Kapasitas guru yang masih terbatas. Tidak ada bentuk-bentuk pengembangan pembelajaran baik itu metode, media, maupun materi bahan ajar. Faktor ini yang paling dominan mempengaruhi siswa cepat bosan dalam belajar, kurang bergairah, dan malas mengerjakan tugas yang diberikan kepada kepadanya.


5. Tenaga pendidik dalam hal ini guru PNS jumlahnya hanya 4 orang sebagian besar tinggal di daratan. Hanya 1 orang (kepala sekolah) yang tinggal di Pulau ini, membuat waktu dan mutu interaksi guru dengan siswa juga terbatas.


6. Minimnya bentuk-bentuk peningkatan kapasitas guru maupun staf sekolah baik itu dalam bentuk pelatihan, workshop, maupun sosialisasi dari pihak-pihak yang berkompeten. Ada 2 (dua) orang tenaga honorer yang ikut membantu tetapi tetapi tidak pernah mendapatkan bentuk meningkatan kaspitas. 


7. Sarana prasarana pembelajaran juga terbatas, misalnya listrik, buku paket, dan alat tulis. Kondisi ini bisa diatasi jika ada inovasi-inovasi guru dalam memanfaatkan lingkungan sekitarnya sebagai sarna belajar. 


1. Anak-anak suku bajo memiliki budaya bawaan berupa indigenous learning system melibatkan anak-anak mereka sejak kecil mencari kehidupan di laut. Bahkan mengajarkan dari kecil bagimana menghadapi dan mengatasi berbagai permaslahan di luat misalnya cara memetakkan kawasan mana yang banyak ikannya, apa tanda-tandanya, posisi bintang hubungannx dengan arah, mengatasi ombak dll. Sehigga dorongan untuk belajar pada sekolah formal untuk meningkatkan kapasitasnya dianggap tidak begitu penting karena toh tidak dipakai dalam melaut. 


2. Orientasi dan cita-cita hidup yang sederhana dan bahkan dapat dikatakan tidak ada. Sebagaimana anak-anak kebanyakan ditempat lain misalnya ingin jadi polisi, dokter, guru, dll. Kondisi ini juga membuat mutivasi untuk sekolah dan belajar rendah. 


3. Peran-peran orang tua untuk mendorong anaknya untuk sekolah juga sebagian besar sagat rendah. Para orang tua kelihatannya tidak begitu mempersoalkan jika anak-anaknya itu tidak pergi sekolah. Bahkan jika anaknya berbohong bahwa dia tidak belajar dan pulang karena gurunya tidak ada, bersikap apatis dan tidak mencari tahu. 


4. Pegaruh lingkungan sekitar juga sangat besar. Misalnya contoh-contoh orang sukses yang berasal dari desa ini juga terbatas untuk mejadi model/contoh bagi kehidupan mereka. Anak-anak di pulau ini lebih senang hal-hal yang instan dan langsung menghasilkan materi baik itu berupa uang atau makanan. 


5. Ikut terlibat dalam memasarkan hasil tangkapan orang tuanya ke Pelelangan yang ada di Kota Kendari menjadi terlena, terpengaruh dengan materi, menjadikannya malas lagi belajar dan memandang belajar atau sekolah hanya membuang waktunya saja. 



Sumber: diolah dari hasil wawancara dan FGD


Keseluruhan faktor tersebut merupakan hasil pemetaan yang dinggap berpengaruh langsung bagi fakta-fakata yang terjadi pada anak-anak usia sekolah SD berupa tidak ada minat belajar dan kasus putus sekolah. Antara faktor internal dan faktor eksternal ternyata sama-sama memberi sumbangsi bagi permasalahan pendidikan yang ada di tempat ini. Sebagian besar mungkin memiliki kesamaan faktor dengan anak-anak suku bajo di tempat lain akan tetapi hal yang unik dari tempat ini adalah intensitas interaksi anak-anak yang mengikuti orang tuanya dengan para tengkulak ikan di pelelangan ikan Kota Kendari, sehingga dampak negatifnya lebih besar dari dampak positifnya. Kemudian secara ekternal juga memiliki permasalahan yang khas sehingga membutuhkan strategi yang tepat untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. 






Potensi Kearifan Lokal Masyarakat Suku Bajo di Pulau Saponda


Menurut Wikipedia Bahasa Indonesia yang dikutip dari https://id.wikipedia.org bahwa Kearifan lokal merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari bahasa masyarakat itu sendiri. Kearifan lokal biasanya diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi melalui cerita dari mulut ke mulut. Kearifan lokal ada di dalam cerita rakyat, peribahasa, lagu, dan permainan rakyat. Kearifan lokal sebagai suatu pengetahuan yang ditemukan oleh masyarakat lokal tertentu melalui kumpulan pengalaman dalam mencoba dan diintegrasikan dengan pemahaman terhadap budaya dan keadaan alam suatu tempat. 


Dengan demikian, sebagai sebuah entitas yang memiliki budaya dan sisitim sosial tersendiri, suku bajo memiliki beragam kearifan lokal yang diproduksi atas dasar pengetahuan dan kearifan yang dalam untuk menyelesaikan berbagai aspek dan masalah kehidupan mereka. Kondisi yang sama pada masyarakat suku bajo yang ada di Pulau Saponda. Badi (52 Tahun) Tokoh masyarakat bajo di Pulau Saponda, menuturkan bahwa secara historis budaya, cerita, tradisi, adat istiadat, hiburan rakyat, dan lain-lain dimasa lalu cukup banyak dan menjadi pranata dan norma yang selalu dilakukan. Namun seiring dengan perkembangan zaman keberagaman budaya tersebut sebagian sudah mulai luntur bahkan generasi sekarang banyak yang tidak mengealnya lagi. 


Melalui bentuk ekplorasi pada beberapa tokoh, ditemukan puluhan keerifan lokal yang memiliki fugsi dan nilai pada beberapa aspek kehidupan mereka. Sebagian masih dilakukan secara keseluruhan, sebagian lagi dilakukan tetapi pada peritiwa-peristiwa tertentu, sebagian lagi sudah mulai luntur dan bahkan tinggal cerita. Pada titik inilah penelitian ini dilakukan selain mengatasi masalah partisipasi pendidikan juga melakukan suatu bentuk revitalisasi budaya masyarakat suku bajo. 


Setelah melalui proses pemetaan, maka beberapa kearifan lokal yang potensial untuk menjadi modal pengembangan pembelajaran (learning development of capital) baik dari segi materi ajar, model/metode, dan media pembelajaran. 


Pertama, Bapongka, yaitu sebuah tradisi melaut yang ramah terhadap alam. Istilah Bapongka disebut juga dengan Babangi adalah bermalam di laut selama 3 hari sampai sebulan. Pongka adalah berlayar mencari nafkah atau atau hasil-hasil laut ke daerah atau provinsi lain, selama beberapa minggu/bulan. Menangkap Hasil Laut bapongka adalah suatu kegiatan melaut khas masyarakat Bajo atau Bajau di Pulau Saponda yang telah dilakukan sejak lama. Mereka pergi ke satu tempat di luar kampungnya untuk mencari hasil laut selang berhari-hari hingga berminggu-minggu secara berkelompok. Setiap kelompok terdiri dari tiga sampai lima perahu, masing-masing perahu terdapat satu orang. Pembentukan kelompok kecil bapongka lebih sering dilakukan berdasarkan kedekatan hubungan. Biasanya kelompok kecil tersebut akan bertemu dengan kelompok kecil yang lain di suatu lokasi penangkapan dan akhirnya membentuk kelompok besar yang jumlahnya bisa mencapai 15 bahkan 20 perahu. Kelompok Bapongka berupaya menangkap ikan, udang, lola, atau kepiting, teripang. Mereka melakukan penangkapan secara bergerombol dan saling membantu bukan saling bersaing. Selanjutnya hasil dari tangkapan mereka dipasarkan langsung pada Pasar Ikan Pelelangan Kota Kendari yang telah berlangsung sejak masa penjajahan Belanda. 


Kedua, Pasipupukang, yang artinya perkumpulan masyarakat suku Bajo atau tradisi berkumpul masyarakat Bajo untuk mencari solusi dari permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi. Pasipupukang ini biasanya dilakukan dengan tata cara misalnya jika terjadi kasus perkelahian diantara sesama masyarakat Bajo, diadakanlah pertemuan di suatu tempat, misalnya dirumah tokoh adat atau di balai pertemuan di Desa. Pertemuan ini dihadiri oleh kedua belah pihak yang berseteru, tokoh adat, tokoh masyarakat, kepala desa. Fungsi pasipupukang di Pulau Saponda juga dijadikan sebagai media kerjasama dan mempersatukan. Bahkan di Pulau Bokori satu kawasan dengan Pulau Saponda, sama-sama masuk dalam kecamatan Soropia, mereka menjadikan tradisi pasipupukang sebagai bentuk gotong royong dalam menyekolahkan anak-anak Bajo di pulau ini, sehingga sudah ada puluhan anak-anak Bajo yang menamatkan sekolah pada PT (S1). Konsep ini memiliki kesamaan dengan tradisi Pokadulu yang dikembangkan masyarakat Muna. Hanya saja pada masyarakat Muna tradisi Pokadulu lebih diarahkan pada bentuk-bentuk kerjasama dan gotong royong dalam meringankan beban pekerjaan tertentu, misalnya dalam bertani, acara hajatan pesta perkawinan, memindahkan rumah, dan lain-lain. 


Ketiga, Ngampuan, sebuah kebiasaan suku Bajo saling mengunjungi untuk membangun interkasi yang harmonis (assosiatif). Kebiasaan melaut saat durasinya sudah mulai menurun, dulu bisa menembus waktu 30 hari sekarang paling lama 1 minggu, kondisi ini tidak terlepas dari perkembangan teknologi dan mesin kapal/perahu yang mereka gunakan. tetapi dalam pengembaraannya itu, bukannya mereka menjadi individualis dan "soliter" namun sisi kemanusiaannya berupa kerinduan pada sesama dan kerabat tidak pernah hilang. Kerinduan inilah yang menjadikan tradisi Ngampuan (saling mengunjungi) masih dilakukan dengan tujuan untuk memperkuat rasa kekeluargaan dan kekerabatan sesama Bajo. Ngampuan kadang di kala Purnama datang, dimana aktifitas sebagai nelayan istirahat maka dapat disaksikan kerumunan perahu yang diayun ombak di permukaan laut di biasan cahaya purnama, kadang dari kejauhan terdengar tawa kelakar mereka. Hal yang menarik pula untuk dilihat adalah ngampuan ini tidak harus yang muda mengunjungi yang tua, namun bukti kasih sayang yang tua pun kadang ngampuan pada yang muda, sehingga siampuanan (saling mengunjungi) ini merupakan lem perekat yang ampuh untuk memelihara kekerabatan Suku Bajo yang menyebut dirinya suku Sama/same. Itulah sebabnya kejadian-kejadian konfik dan perselisihan jarang terjadi di desa ini dan begitulah cara mereka merawat kebersamaannya. 


Keempat, Tradisi lisan Iko-iko. Sesungguhnya dari beberapa temuan yang diperoleh pada berbagai kajian masyarakat Bajo memiliki sastra lisan Iko-Iko ini. Tradisi lisan ini memiliki pesan yang tersirat dan mendalam bagi suku laut di pelbagai pesisir Nusantara termasuk di wilayah pesisir Sulawesi Tenggara, termasuk di Saponda. Menurut mereka sastra lisan ini berisikan tentang adat dan budaya kehidupan suku Bajo yang mengagungkan laut sebagai kehidupan abadi dan senantiasa mensyukuri nikmat dari sang Maha Pencipta. Tradisi iko-iko biasanya disajikan oleh orang tua pada anak-anak mereka. Cerita kepahlawanan dan kepiawaian komunitas Bajo dalam mengarungi lautan cukup banyak, namun ada juga yang sudah mendesain dalam bentuk cerita-cerita lucu tetapi mengandung pesan moral yang kuat. Tardisi ini memiliki potensi yang kuat untuk membangun mainshet dan kesadaran anak-anak suku Bajo.


Kelima, Tradisi Duata. Ritual ini cukup banyak rangkaiannya dan ini suatu bentuk kearifan masyarakat yang berhubungan dengan Sang Dewa maha pencipta. Hal ini karena nilai-nilai kepercayaan Suku Bajo sudah tertanam sejak sebelum Islam. Menurut tokoh masyarakat di Saponda, ritual ini merupakan puncak dari segala upaya pengobatan tradisional suku Bajo. Kebiasaa ini menurut mereka sudah jarang dilakukan, biasanya dilakukan bila ada salah satu di antara mereka mengalami sakit keras dan tak lagi dapat disembuhkan dengan cara lain termasuk pengobatan medis. Saat menjalani prosesi Duata pengobatan, sejumlah tetua adat biasanya berkumpul di sebuah ruangan dan meramu jenis pelengkap ritual, seperti beras aneka warna, dupa, daun sirih, kelapa, dan pisang. Sementara itu, orang yang akan diobati dibawa menuju ke laut dengan diiringi nyanyian lagu masyarakat Bajo yaitu lilligo dan tarian ngigal. Selesai dari laut, orang yang sakit dan tetua adat bertemu di tempat semula dan berlangsung lah pengobatan. Tak terbatas pada pengobatan, tradisi Duata juga dapat dilakukan dalam acara syukuran dan hajatan. Duata juga dilaksanakan saat menyambut tamu.


Keenam, Pranata tentang Tatacara Melaut. Bajo dimana-mana pasti identik dengan laut. Bahkan ada yang mengatakan mereka ini penjaga laut. Pertanyaan yang dijawab dengan lugas pada sesi wawancara, Bernarkan orag Bajo itu sebagai manusia yang ditakdirkan menjaga laut? Apa buktinya?. Jawabannya di pulau ini, juga mungkin sama pada tempat-tempat lain, bahwa suku Bajo itu memiliki beberapa aturan dalam melaut (1) Duata Sangal: Ritual mengambil beberapa jenis ikan kecil yang terancam punah dan melepaskannya ke laut, ikan yang dilepas itu diharapkan bisa mengundang ikan-ikan lainnya untuk berkumpul dan hidup bersama. (2) Parika: yaitu memberi ruang bagi ikan untuk bertelur dan beranak serta membatasi penangkapan berdasarkan ketentuan waktu tertentu yang disepakati oleh pemuka adat dan tokoh komunitas. (3) Pamali : “Daerah terlarang” yang ditetapkan ketua adat Bajo untuk menangkap ikan di suatu kawasan. Biasanya disertai sanksi tertentu bagi yang melanggar. (4) Maduai Pinah : Ritual yang dilakukan saat nelayan Bajo akan turun kembali melaut di lokasi pamali.


Ketuju, klasterisasi pelaut. Jadi sebgai masyarakat yang identik dengan pelaut, tentunya mereka memiliki sistim dan klasterisasi. Menurut mereka klasterisasi ini berkaitan erat dengan kemampuan dan kepemilikan armada, biasanya juga waktu tersedia. (1) Palilibu: melaut jarak dekat dalam sehari. (2) Pongka: melaut agak jauh dengan waktu 1-2 minggu. (3) Sakai: Melaut jauh dengan lama waktu minimal sebulan. (4) Lama : melaut sangat jauh hingga berbulan-bulan dan biasanya melintasi negeri asing. Pada klasterisasi tersebut, dari informasi yang diperoleh sudah tidak ada lagi yang melakukan pelayaran dengan menjadi Sakai atau Lama. Kondisi masyarakat di sini juga semakin berubah, pemukiman masyarakat sebagian besar sudah permanen sehingga kegiatan melaut hanya dalam tradisi Palilibu dan Pongka saja. 


Memperhatikan berbagai budaya dan kearifan lokal tersebut banyak yang menarik dan potensial untuk ditarik pada pengembangan pembelajaran. Pada titik inilah Bourdieu (1998) mengharapkan agar budaya dalam berbagai cirinya harus menjadi centrum melalui bentuk reproduksi dalam berbagai hal pada kondisi kontemporer. 






Strategi Pengembangan Pembelajaran Sebagai Analisis Alternatif Solusi Dalam Mengatasi Masalah Putus Sekolah


Sebagai input awal dari analisis adalah peta atau kondisi sistim pembelajaran yang berlangsung pada SD di Pulau Saponda yang dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal lebih didominasi oleh kelemahan desain dan pengembangan pembelajaran guru khususnya berkaitan dengan inovasi untuk membangun minat dan motivasi belajar siswa. Sedangkan faktor eksternal berkaitan budaya dan kebiasaan yang masih terkooptasi pada sikap yang belum menjadikan kebutuhan pendidikan sebagai kebutuhan dasar. Dengan demikian, karakter anak-anak suku bajo yang kurang begitu berminat dengan sistim formal sehigga pembelajaran yang didesain dengan pendekatan formal, kurang game, dan lebih teks book membuat siswa cepat lelah dan bosan dalam belajar.


Pada sisi lain, masyarakat yang berdomisili di pulau ini yang 95 persen berasal dari etknik/suku Bajo memiliki beragam kearifan dan tradisi yang dapat didesain dan diadopsi dalam pembelajaran melalui bentuk inovasi baik yang berkaitan dengan bahan ajar/materi, model/metode pembelajaran, maupun media pembelajaran. Jika megacu kepada Naim dan Syauqi (2008) secara kulture masyarakat memiliki modal yang kuat dalam menata dan membekali kehidupan mereka. Jika pendidikan bertujuan membangun kesadaran dan keterampilan mereka maka kenapa tidak pembelajaran tersebut dipadukan dengan modal-modal budaya yang dimiliki masyarakat. 


Mengacu pada macam-macam strategi pembelajaran secara Ekspositori strategy maupun social inquiry maka potensi-potensi tersebut dapat diintegrasikan kedalam berbagai strategi pembelajaran tersebut (Merta Hadi, 2014). detail mengenai bentuk strategi pengembangan desain dalam mengatasi masalah pembelajaran tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. 








Strategi 


Program Strategis 



Inovasi materi/bahan ajar melalui internalisasi dan integrasi nilai-nilai kearifan lokal baik secara ekspository strategy maupun social inquiry strategy. 


§ Pengembangan kompetensi/materi keaksaraan; membaca, menulis, berbicara, dan berhitung pada kelas rendah dengan simbol-simbol yang dekat dengan budaya masyarakat Bajo seperti; bangka, koli-koli, ikan, agar, dll


§ Pengembangan kompetensi pengetahuan konseptual, prosedural, dan keterkaitan keduanya dalam pemecahan masalah Matematika maupun Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) serta Penerapannya dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan kelautan misalnya pertama, memetakan konsep Palibu, Pongka, Sakai, Lima sebagai kearifan yang berkaitan dengan wilayah dan alat penangkapan di alam laut dan kedua, pamali sebagai kearifan yang berkaiatn dengan wilayah konservasi dan daerah terlarang di alam laut dan pesisir. 


§ Pengembangan kompetensi pengetahuan konseptual, prosedural maupun sikap, dan keterkaitan ketiganya dalam pemecahan masalah IPS dan PPKn serta Penerapannya dalam kehidupan sehari-hari pada lingkungan sosial budaya masyarakat maupu dalam sisitim pemerintahan di Desa. Misalnya pertama eksplorasi berbagai macam dan bentuk pranata adat maupun sistim sosial suku Bajo (1) Ngampuan suatu konsep interaksi dan sosialisasi (2) Duata suatu tradisi melaut yang berkaitan erat dengan hubungan manusia dengan alam, (3) lolo bajo suatu konsep stratifikasi sosial yang saling mempengaruhi. Kedua, pengembangan sikap dengan merevitalisasi dan merealisasikan nilai-nilai tersebut dalam kelas maupun di luar kelas 



Pengembagan Model/Metode Pembelajaran yang menyenangkan dan memiliki daya tarik berbasis pada potensi sosial budaya masyarakat 


§ Desain local model melalui replikasi dan pengintegrasian konsep Cooperatif Learning menjadi Model Pasipupukang dalam pembelajaran. Desain model ini memudahkan siswa memahami proses, istilah, dan disisi lain nilai-nilai lokal tertanamkan. Muarah dari model ini adalah pemecahan masalah pembelajaran, mendiskusikan materi yang dianggap sulit, serta membangun kebersamaan baik dalam kelas maupun diluar kelas dengan duduk bersama dan berkelompok. 


§ Desain model Ngampuan dalam pembelajaran yaitu saling mengunjungi antar kelompok untuk saling mempelajarkan suatu materi. Konsep ini bisa dilakukan dalam kelas maupun di luar kelas. Secara konseptual dalam teori kooperatif learning mengenal tipe JIGSAW yaitu membagi kelompok dengan dua bagian yaitu kelompok ahli dan kelompok asal. Praktek model ini juga sifatnya saling mengunjungi sehingga dengan mengadopsi kearifan Ngampuan bisa diintegrasikan dalam tipe model kooperatif ini, sehingga siswa lebih mudah memahami dan menyenangkan. 


§ Pengembangan metode belajar telling story kedalam setting metode iko-iko bagi pembelajaran bahasa atau IPS/budaya. Suatu tradisi lisan tentang cerita kehidupan dikalangan masyarakat suku Bajo. Tekhniknya siswa dapat melakukan penelusuran dan wawancara pada orang tua mereka atau pihak yang masih mengenalkan cerita tersebut, mengingatnya, dan menceritakannya secara bergantian pada teman-temannya. 



Inovasi media pembalajaran berbasis potensi kearifan lokal 


- Mengembangkan konsep keaksaraan/Literasi media budaya kesenian Bajo misalnya lewat lagu lilligo dan tarian ngigal. Benyanyi liligo tentunya mengandung daya tarik dan mudah dipahami karena mengunakan bahasa sendiri. 


- Mengembangkan alat hitung sempoa dengan berbahan baku dari laut misalnya kerang. Mengenali lingkungan dan kerusakan alam dari bidang stuadi IPA dengan analisa gambar yang dipotret secara bersama di sekeliling pulau Saponda. 


- Pembelajaran nilai-nilai dan keaksaraan melalui tradisi tarian dero. Siswa dipacu untuk bisa melakukan segala proses yang berkaitan dengan tari ini. Salah satunya yaitu siswa harus dapat berpantun. Tradisi ini sudah mulai luntur sehingga siswa memiliki semangat untuk menggali kembali dan bermain lewat pantun, bersyair dan nada. Selain itu juga mengayungkan beberapa gerakan yang sudah ada tata caranya. Output dari media ini dapat membangun motivasi siswa 







Mengacu pada tiga strategi tersebut diyakini secara konseptual dapat mengatasi masalah kasus putus sekolah di Pulau Saponda. Pertama Inovasi materi/bahan ajar melalui internalisasi dan integrasi nilai-nilai kearifan lokal baik secara ekspository strategy maupun social inquiry strategy dapat mengatasi kejenuhan pada materi yang selama ini terkesan asing dari kehidupan siswa. Kedua, Pengembagan Model/Metode Pembelajaran yang menyenangkan dan memiliki daya tarik berbasis pada potensi sosial budaya masyarakat Bajo dapat mengatasi berbagai masalah misalnya partisipasi yang rendah, bosan karena guru mendominasi, serta sistim pembelajaran yang konvesional baik itu metode maupun cara mengajar guru. Ketiga Inovasi media pembalajaran berbasis potensi kearifan lokal, bertujuan membangun daya tarik dan minat siswa untuk bertahan dalam kegiatan pembelajaran baik di kelas maupun di luar kelas. Dengan demikian tingkat prosentase kasus putus sekolah jika dilihat antara input Peserta Didik Baru (PDB) dengan luaran bisa ditekan dari 50-60 persen dapat ditekan menjadi tinggal 10 atau 5 persen saja. Walaupun antisipasi secara ekternal juga jauh lebih penting, misalnya merubah mainsheet orang tua untuk lebih menyadarkan anaknya untuk tetap belajar. 





KESIMPULAN 


Mengacu pada uraian tersebut, maka beberapa kesimpulan yang dapat ditarik antara lain; pertama, kondisi kasus putus sekolah di SD Pulau Saponda sangat tinggi hal ini picu oleh dua faktor, yaitu (1) faktor eksternal berupa kultur masyarakat berupa mainsheet yang belum menjadikan pendidikan sebagai kebutuhan utama dan mendasar. Sikap pembiaran terhadap anak-anak mereka untuk tidak sekolah, bahkan yang lebih fatal mengikutsertakan anak-anak mereka mencari nafkah dalam bentuk Bapongka sebagai bukti kesadaran terhadap pendidikan masih lemah. (2) faktor internal berupa pendekatan, metode dan media pembelajaran guru yang masih terbatas. Terkungkung dalam tradisi pembelajaran yang konvesional yang membosankan bagi siswa yang membuat mereka kabur dari proses belajar. 


Kedua, ada banyak dan sangat beragam potensi kearifan masyarakat di Pulau Saponda dengan nuansa Etnik Bajo dalam berbagai aspek tradisi yang dapat direproduksi dalam berbagai bentuk strategi pembelajaran baik dalam bentuk Ekspositori strategy maupun social inquiry strategy, misalnya tradisi Bapongka, Pasipupukang, Ngampuang, tradisi lisan iko-iko, tradisi duata, dan sistim lokal (khas etnik Bajo) dalam menjaga dan melakukan konservasi laut.


Ketiga, strategi yang dikembangkan dalam pengembangan pembelajaran yaitu (1) Inovasi materi/bahan ajar melalui internalisasi dan integrasi nilai-nilai kearifan lokal baik secara ekspository strategy maupun social inquiry strategy dapat mengatasi kejenuhan pada materi yang selama ini terkesan asing dari kehidupan siswa. Kedua, Pengembagan Model/Metode Pembelajaran yang menyenangkan dan memiliki daya tarik berbasis pada potensi sosial budaya masyarakat Bajo Ketiga Inovasi media pembalajaran berbasis potensi kearifan lokal, bertujuan membangun daya tarik dan minat siswa untuk bertahan dalam kegiatan pembelajaran baik di kelas maupun di luar kelas. 


DAFTAR PUSTAKA






Anwar. (2003). Pengembangan Model Pengelolaan Pembelajaran keterampilan Berbasis Sosial Budaya bagi Perempuan Nelayan. Disertasi Doktor pada PPs Universitas Pendidikan Indonesia, tidak diterbitkan.






Freire, Paulo. Pendidikan Kaum Tertindas. Terjemahan F Donuwinata, Jakarta: LP3ES. 






Haq, Pendais. 2004. Perubahan Interkasi Social Suku Bajo Dengan Masyarakat Sekitarnya. Makassar: Thesis S2 UNM, Tidak diterbitkan.






Karim, Muhammad. 2009. Pendidikan Kritis Transformatif, Sleman Jogyakarta: Ar-ruzz Media Group. 






Merta Hadi, Bagus. Macam-Macam Strategi Pembelajaran. Artikel yang diakses dari blog bgoes1st.blogspot.co.id 






Naim & Sauqy. 2008. Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasinya, Jogyakarta. Ar-ruzz Media.  






Sumiyati. 2010. Implementasi KTSP dalam Pembelajaran di SMP (Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Vol 16 No. 1 Edisi Januari 2010), Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional. 






Suardika, I Ketut. (2011). Keterpinggiran Pendidikan Dasar dalam Masyarakat Suku Bajo Di Desa Saponda Kec. Soropia Kabupaten Konawe. Disertasi Doktor pada PPs Univeristas Udayana Bali. 






Tilaar, 20014. Paradigma Baru Pedidikan Nasional. PT Rineka Cipta Jakarta. 






Tilaar, H.A.R. 2004, Membenahi Pendidikan Nasional, Jakarta : PT Rineka Cipta






https://id.wikipedia.org/wiki/Kearifan_lokal






https://www.unair.ac.id_32373_sospend7








[1]Disampaikan dalam Seminar Nasional MSI Sulawesi Tenggara bekerja sama dengan Jurusan Pendidikan Sejarah UHO, September Tahun 2017


[2] Dosen Tetap pada Jurusan Pendidikan Sejarah UHO

1 Comments for "STRATEGI PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL ETNIK BAJO UNTUK MENGATASI KASUS PUTUS SEKOLAH PADA USIA SEKOLAH DASAR DI PULAU SAPONDA KECAMATAN SOROPIA KABUPATEN KONAWE"

Silanhkan di Komentar