MODEL PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS BUDAYA DAN KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT SUKU TOLAKI DI KABUPATEN KONAWE

Admin | |

SEMINAR ETNOPEDAGOGIK

IMPERIAL HOTEL
2017
MODEL PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS BUDAYA DAN KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT SUKU TOLAKI DI KABUPATEN KONAWE 

Sulsalman Moita 

Dosen Jurusan Sosiologi FISIP UHO 

Email: moitasulsalman@yahoo.co.id 



Abstrak: 

Penelitian dengan lokus di Kabupaten Konawe, bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis model pendidikan karakter berbasis budaya dan kearifan lokal masyarakat suku Tolaki. 

Metode penelitian ini adalah kualitatif secara purporsive menetapkan sampel sekolah sebagai unit analisis yang paling utama dalam mengkaji dan menganalisis berkembangnya model pendidikan karakter berbasis budaya dan kearifan lokal masyarakat suku Tolaki. Dalam pengumpulan data, peneliti bertindak sebagai instrumen penelitian. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam, observasi dan dokumentasi. Data dianalisis secara kualitatif. 

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: model pendidikan karakter berbasis budaya dan kearifan lokal masyarakat suku Tolaki; melahirkan lima model yakni: (1) Model sosialisasi dan pewarisan nilai-nilai sosial budaya yang menekankan pada indikator nilai karakter melalui budaya tabe, kohanu, merou, sapaan inggomiu, prinsip hidup samaturu, teporombu, mepokoaso, dan kalosara sebagai media pemersatu warga; (2) Model pelembagaan budaya, menghasilkan pola pengembangan melalui musyawarah adat, seminar adat, festifal budaya, lomba kesenian tradisional, tradisi mombesara, dan penyelesaian konflik dengan upacara mosehe; (3) Model penguatan kapasitas peran tokoh adat, tokoh agama, dan tokoh masyarakat, menuntut pola pengembangan melalui identifikasi tokoh, integritas tokoh, moralitas dalam pelayanan, kepemimpinan kharismatik, dan kemampuan pemecahan masalah; (4) Model penerapan media dan komunikasi untuk menginformasikan berbagai produk dan kesenian daerah suku Tolaki, seperti tarilulo, lagu wulele sanggula, sua-sua, tari mondotambe, makanan sinonggi, dan sebagainya; (5) Model penguatan kelembagaan formal melalui government dan insitusi sekolah, menuntut peran Pemda sebagai fasilitator dan kolaborator terjaganya warisan budaya dan nilai-nilai kearifan lokal; termasuk mendorong peran sekolah melalui pembelajaran nilai-nilai karakter yang bermuatan lokal. 

Kata Kunci: Pendidikan Karakter, Kearifan Lokal, Kalosara, Tolaki. 

Pendahuluan 

Dewasa ini, makin disadari pentingnya karakter dalam upaya pengembangan sumber daya manusia. Berbagai kajian dan fakta menunjukkan bahwa bangsa yang maju adalah bangsa yang memiliki karakter kuat dan dinamis. Nilai-nilai karakter tersebut adalah nilai-nilai yang digali dari khasanah budaya yang selaras dengan karakteristik masyarakat setempat (kearifan lokal) dan bukan “mencontoh” nilai-nilai bangsa lain yang belum tentu sesuai dengan karakteristik dan kepribadian bangsa tersebut. 

Dalam dunia pendidikan, nilai-nilai eksistensi karakter juga memiliki kontribusi yang signifikan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk mentalitas dan moralitas peserta didik dan generasi muda. Problemnya adalah dampak globalisasi dan modernisasi di masa kini, telah mengikis eksistensi nilai-nilai budaya lokal sehingga sebagian dari anak-anak kita di setiap jenjang pendidikan mengalami masalah bias kultural yang berdampak pada peningkatan perilaku menyimpang seperti pergaulan bebas, konsumsi narkoba, perilaku merokok, perkelahian/tawuran, geng motor, dan sebagainya. Hal tersebut merupakan dampak dari kuatnya intervensi budaya luar (asing), yang memarginalisasi sikap dan perilaku generasi kita yang kebablasan. 

Masalah-masalah yang melanda generasi muda kita di atas, harus dibarengi dengan kekuatan dan antisipasi atas pentingnya nilai-nilai karakter yang berbasis pada budaya dan kearifan lokal. Asumsinya adalah, kontribusi pengembangan karakter suatu bangsa, yang tidak dapat dilepaskan dari aspek budaya yang selaras dengan karakteristik masyarakat itu sendiri. Budaya yang digali dari kearifan lokal bukanlah penghambat kemajuan dalam era global, namun justru menjadi filter budaya dan kekuatan transformasional yang luar biasa dalam meraih kejayaan bangsa. Oleh karena itu, menggali nilai-nilai kearifan lokal merupakan upaya strategis dalam membangun karakter bangsa di era global. Salah satu etnis dengan nilai-nilai kearifan lokal yang berkembang dan potensial dikembangkan dalam pendidikan adalah etnis Tolaki. 

Etnis Tolaki yang mendiami mayoritas wilayah daratan di Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan etnis lokal yang tersebar di sejumlah Kabupaten/Kota. Salah satu kabupaten yang relevan untuk mengakomodasi berkembangnya tata kelola nilai-nilai budaya dan sinerginya dengan pendidikan karakter adalah Kabupaten Konawe. Sebagai lokus dalam penelitian ini, Konawe memiliki sejarah dan akar budaya yang cukup panjang guna menggali nilai-nilai pendidikan karakter, baik di masa kini maupun di masa depan. Nilai-nilai budaya dan simbolisasi seperti kalo sara, laika mbuu, tari lulo, makam raja Lakidende, filosopi hidup mepokoaso dan meronga-ronga serta bentuk-bentuk kesenian daerah merupakan sebagian dari atribusi masyarakat suku Tolaki yang dapat digali dan dikembangkan sebagai modal untuk pengembangan karakter baik dalam dunia pendidikan maupun dalam kehidupan masyarakat. 

Pentingnya pendidikan karakter, bersumber dari elaborasi nilai-nilai yang mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills) (Battishtich, 2008). Secara universal berbagai karakter dirumuskan sebagai nilai hidup bersama berdasarkan atas pilar kedamaian (peace), menghargai (respect), kerjasama (cooperation), kebebasan (freedom ), kebahagiaan (happiness), kejujuran (honesty), kerendahan hati (humility), kasih sayang (love), tanggung jawab (responsibility), kesederhanaan (simplicity), toleransi (tolerance) dan persatuan (unity). 

Selanjutnya pendidikan karakter adalah sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah (Muchlish, 2010). 

Pendidikan berbasis kearifan lokal adalah pendidikan yang mengajarkan peserta didik untuk selalu lekat dengan situasi konkret yang mereka hadapi. Menurut Suwito (2008) , pilar pendidikan kearifan lokal meliputi: membangun manusia berpendidikan harus berlandaskan pada pengakuan eksistensi manusia sejak dalam kandungan;) pendidikan harus berbasis kebenaran dan keluhuran budi, menjauhkan dari cara berpikir tidak benar; pendidikan harus mengembangkan ranah moral, spiritual (ranah afektif) bukan sekedar kognitif dan ranah psikomotorik; dan sinergitas budaya, pendidikan dan pariwisata perlu dikembangkan secara sinergis dalam pendidikan yang berkarakter. 

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana model pendidikan karakter berbasis budaya dan kearifan lokal masyarakat Tolaki di Kabupaten Konawe. Sedangkan tujuan penelitian ini adalah mengkaji dan menganalisis model pendidikan karakter berbasis budaya dan kearifan lokal masyarakat Tolaki di Kabupaten Konawe. 

Metode Penelitian 

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Konawe, yang secara purporsive menetapkan sampel sekolah sebagai unit analisis yang paling utama dalam mengkaji dan menganalisis berkembangnya model pendidikan karakter berbasis budaya dan kearifan lokal masyarakat suku Tolaki. Informan dalam penelitian ini adalah seluruh pihak yang terlibat dalam “Model Pendidikan Karakter Berbasis Budaya Dan Kearifan Lokal Masyarakat Tolaki, yakni kepala sekolah, guru, tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemerintah, tokoh pendidik, siswa, dan sebagainya. 

Teknik yang digunakan dalam memperoleh dan mengumpulkan data di lapangan, yaitu interview mendalam, kuesioner, studi dokumen, dan observasi. Dari pendekatan ini diperoleh prioritas masalah dan pemecahannya, kajian tentang model pendidikan karakter berbasis budaya dan kearifan lokal masyarakat Tolaki. 

Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknis analisis kualitatif dengan mendeskripsikan data yang diperoleh melalui narasi, pemaknaan, dan penjelasan fakta serta fenomena yang berkaitan dengan pengembangan model pendidikan karakter berbasis budaya dan kearifan lokal masyarakat tolaki. 

Dalam penelitian ini juga dilakukan pemeriksaan validitas data, melalui beberapa teknik, antara lain: pertama, triangulasi berguna untuk memeriksa kembali kebenaran data tertentu dengan membandingkannya dengan data yang diperoleh dari sumber lain; kedua, partisipasi terus menerus yaitu dapat meningkatkan derajat kepercayaan karena peneliti berhubungan dengan informan secara berkesinambungan, yang memungkinkan munculnya ketidakbenaran data; ketiga, melalui diskusi dengan teman yang dianggap mengetahui aspek-aspek yang diteliti. 

Hasil Penelitian Dan Pembahasan 

Secara makro, model pendidikan karakter berbasis budaya dan kearifan lokal akhir-akhir ini, menjadi penting di tengah strategi pendidikan karakter melalui kelembagaan formal, belum mampu menuntaskan permasalahan karakter generasi muda yang mengalami kebablasan, melalui perilaku menyimpang, seperti maraknya penyalahgunaan narkoba, perkelahian pelajar, geng motor, pergaulan bebas, perilaku merokok, konsumsi miras, dan sebagainya. 

- Model Sosialisasi dan Pewarisan Nilai-Nilai Sosial Budaya 

Model sosialisasi dan pewarisan nilai-nilai sosial budaya, menekankan pada bekerjanya agen sosialisasi, seperti keluarga, kelompok, dan masyarakat. Keluarga sebagai institusi paling dasar, menjadi peletak dasar nilai-nilai karakter, karena disanalah anak-anak diperkenalkan pada kebiasaan dan moral, sehingga menjadi wahana pengintegrasian pada lingkungan sekolah dan sosial. Kelompok menghadirkan suatu perilaku kolektif yang di dalamnya mengandung norma-norma kebersamaan, yang tak jarang memberikan sanksi bagi pelanggarnya. Sedangkan masyarakat adalah lingkungan sosial, yang dihuni oleh berbagai kelompok masyarakat dari berbagai elemen, sehingga diperlukan sistem nilai bersama untuk menjaga keutuhan masyarakat tersebut. 

Pendekatan yang digunakan dalam menggali nilai-nilai karakter berbasis budaya dan kearifan lokal suku Tolaki adalah menuntut tanggung jawab yang tinggi dari para agen, yang dimulai kesepahaman tentang sistem nilai yang menjadi patokan di dalam bersikap dan bertingkah laku, sehingga mewujudkan pranata sosial yang mengalami proses institusionalisasi. 

Tabel 1 

Model Pendidikan Karakter Melalui 

Sosialisasi dan Pewarisan Nilai-Nilai Sosial Budaya 


No 

Agen Sosialisasi/ 

Pewarisan Nilai2 

Pola Pengembangan 

Indikator Nilai 



Keluarga 

Imitasi, Sugesti 

Budaya tabe, kohanu, merou, sapaan inggomiu, dsb 



Kelompok 

Ekslusivitas dan inklusivitas Norma-norma Kelompok 

Samaturu, teporombu, medulu, mepokoaso 



Masyarakat 

Norma-Norma Universal 

Kalosara sebagai media simbolik dan pemersatu 


Sumber: Data Primer diolah dan Dianalisis. 

Memperhatikan tabel 1, menunjukkan bahwa insitusi keluarga menjadi wahana yang paling penting dan utama dalam mensosialisasikan nilai-nilai pendidikan karakter pada diri anak, melalui pola imitasi dan sugesti. Pola imitasi adalah anak meniru kebiasaan orang tuanya dalam kehidupan rumah tangga. Proses ini dimulai pada masa balita hingga masa kanak-kanak, dan menjadi meliu ketika anak memasuki dunia luar, seperti kelompok sebaya, lembaga sekolah dan lingkungan sosial. 

Sejumlah kebiasaan keluarga-keluarga etnis Tolaki yang dapat ditiru dan diinisiasi sehingga menjadi pengalaman dan pengetahuan karakter bagi anak seperti membiasakan budaya santun (merou), tutur kata yang lemah lembut (tulura manasa), budaya mengucapkan salam ketika bertamu, budaya tabe (permisi), dan karakter-karakter santun lainnya. Selain itu orang tua juga senantiasa memberi nasihat kepada anak baik berupa pengalaman pribadi maupun kebiasaan umum yang dianggap normatif dalam kehidupan rumah tangga, seperti budaya kohanu (rasa malu) untuk tidak melanggar norma-norma yang dapat merusak nama orang tua dan keluarga. 

Pada meliu yang lebih luas, kelompok memberikan atribusi dan identitas peneguhan norma sosial, sehingga menjadi katup pengaman bagi keutuhan kelompok tersebut. Kelompok suku bangsa, seperti Suku Tolaki merupakan refleksi komunitas yang mewarisi nilai-nilai sosial budaya sejak dulu hingga sekarang. Di dalam kelompok tersebut memiliki nilai dan norma yang menjadi perekat sekaligus kontrol sosial bagi keutuhan kelompok tersebut. 

Temuan penelitian, mengungkapkan bahwa terdapat sejumlah nilai dan norma kelompok yang dapat menjadi model pengembangan karakter bagi generasi muda etnis Tolaki, seperti teporombu dan medulu. Model ekslusivitas norma adalah peneguhan norma-norma yang bersifat internal melalui kegiatan sehari-hari tanpa menghadirkan kelompok etnis lain, biasanya dalam ritual seremonial melalui penggunaan simbol dan bahasa yang ekslusif Tolaki. Tujuan model ini, lebih pada proses pewarisan nilai-nilai sehingga karakter kebersamaan identitas dapat dikenal oleh anak-anak. 

Model inklusivitas lebih bersifat menjembatani, yaitu suatu model pengembangan karakter dimana pewarisan nilai-nilai budaya Tolaki dapat diketahui, dikenal dan dilaksanakan oleh etnis lain. Keterbukaan untuk menerima orang lain, menjalin persahabatan dan persaudaraan. Budaya samaturu (kerja bakti/kerjasama), tolong menolong (mombeka tulungiako), dan mepokoaso (bersatu) dapat mendorong karakter kesetiakawanan sosial bagi masyarakat dan generasi muda. 

Selanjutnya dalam ruang yang lebih holistik, agen sistem sosial menjadi dimensi yang dapat menyatukan seluruh perbedaan kelompok menuju integrasi sosial. Posisi kalosara dapat menjadi media simbolik untuk merekatkan hubungan manusia dan kelompok sekaligus mengeliminir serta menyelesaikan konflik sosial. 

Melalui pelembagaan norma-norma kalosara secara universal dapat diterima oleh semua kelompok/etnis yang ada di Kabupaten Konawe. Pelembagaan kalosara, tidak dimaknai sebagai pemaksaan kehendak untuk menerima sebagai tatanan nilai baru, namun lebih pada pengakuan agar etnis lain yang telah bermukim di wilayah ini, dapat menjadikan suatu rujukan dalam bertingkah laku, seperti pengajaran muatan lokal di sekolah, acara perkawinan, pementasan kesenian daerah, dan sebagainya. 

- Model Pelembagaan Budaya dan Tradisi 

Berbagai tulisan dan penelitian tentang kebudayaan suku Tolaki, mengisyaratkan adanya degradasi pemahaman dan pengetahuan generasi muda akan khasanah nilai-nilai budayanya; dan jika dibiarkan akan dapat menghasilkan generasi yang tidak lagi mengenal bahkan terancam punah dari budaya aslinya. 

Model pelembagaan budaya dan tradisi, dapat menjadi salah satu solusi agar generasi muda termasuk anak usia sekolah tetap mengenal khasanah local wisdom, untuk menjadi pedoman dan patokan dalam bersikap dan bertingkah laku. 

Tabel 2 

Model Pendidikan Karakter Melalui Pelembagaan Budaya dan Tradisi 


No 

Tingkatan Pelembagaan Budaya dan Tradisi 

Pola Pengembangan 

Indikator Nilai 



Lembaga Adat Tolaki Tingkat Kabupaten 

Musyawarah Adat, Seminar Budaya, festifal budaya, dsb 

Tanggung jawab, keteladanan, kerja keras, toleransi 



Lembaga Adat Tolaki Tingkat Kecamatan 

Musyawarah adat, lomba kesenian tradisional, lomba permainan tradisional, dsb 

Tanggung jawab, kreatifitas, kerja keras, toleransi 



Lembaga Adat Tolaki Tingkat Desa/ Kelurahan 

Tradisi mombesara, penyelesaian konflik adat, mosehe, dsb 

Tanggung jawab, peduli sosial, demokratis, toleransi 


Sumber: Data Primer diolah dan Dianalisis. 

Berdasarkan tabel 2, menunjukkan bahwa secara hirarki terdapat tiga tingkatan model pelembagaan budaya dan tradisi, yang memiliki peran dan fungsi masing-masing. Hubungannya ketiganya lebih bersifat pembinaan dan koordinatif. 

Pada tingkat lembaga adat kabupaten yang biasa disebut LAST, telah dibentuk dan berkiprah selama kurang lebih satu dasa warsa. Walaupun gaungnya kurang membumi, namun dapat dijadikan institusi yang mengayomi dan membina lembaga-lembaga adat di tingkat kecamatan dan desa/kelurahan; melalui peran-peran sosialisasi, edukasi, pembinaan, dan advokasi. 

Dalam kiprahnya, pola pengembangan lembaga adat di tingkat kabupaten secara konsisten dapat menyelenggarakan kegiatan-kegiatan seperti musyawarah adat, seminar adat/budaya, festifal budaya, dan sebagainya. Dari sisi pengejawatahan nilai-nilai karakter bagi generasi muda, kegiatan di atas dapat menghasilkan karakter tanggungjawab, kerja keras, keteladanan, dan toleransi. 

Eksistensi lembaga adat Tolaki di tingkat kecamatan memiliki peran yang strategis karena dapat memediasi keberlangsungan nilai-nilai adat istiadat di tingkat desa dan kabupaten. Sejumlah kegiatan yang dapat dilaksanakan yakni: musyawarah adat, lomba kesenian tradisional, lomba permainan tradisional, dan sebagainya. Dari sisi elaborasi nilai-nilai karakter bagi generasi muda dan anak usia sekolah, kegiatan di atas dapat menghasilkan karakter tanggung jawab, peduli sosial, demokratis, dan toleransi. 

Selanjutnya, eksistensi lembaga adat di tingkat desa/kelurahan menguatkan posisi putobu (tokoh adat) dan tolea/pabitara (juru bicara) dalam mengambil peran yang signifikan. Selain intens berperan dalam seremoni pelaksanaan perkawinan, penyelesaiaan konflik melalui pemanfaatan kalo, dan tradisi mosehe. Nilai-nilai karakter yang dapat diungkit dari sakralitas kearifan lokal suku Tolaki, antara lain: tanggung jawab, peduli sosial, demokratis, dan toleransi. 

- Model Penguatan Kapasitas Peran Tokoh Adat/Budaya, Tokoh Agama, dan Tokoh Masyarakat 

Eksistensi tokoh adat/budaya, tokoh agama, dan tokoh masyarakat, tentunya merupakan representasi dari adanya sifat-sifat kepemimpinan yang menjadi acuan bagi masyarakat dalam mewujudkan harapan serta keinginan masyarakat dalam sistem sosial. Peran tokoh adat, tokoh agama, dan tokoh masyarakat selain mendorong peran serta masyarakat dalam pembangunan komunitas, juga memberi keteladanan warga di dalam menjaga nilai dan norma sosial yang telah melembaga dalam waktu yang cukup lama. Eksistensi tokoh-tokoh tersebut, tak jarang lebih dihargai dan dihormati daripada pemimpin formal, karena mereka memiliki nilai kepemimpinan yang kharismatik dan dicintai oleh warga desa. 

Temuan penelitian mengungkapkan hampir semua informan guru di beberapa sekolah sampel, menyatakan bahwa pengembangan nilai-nilai pendidikan karakter di sekolah selain menuntut peran dan tanggung jawab guru secara formal; juga dibutuhkan sikap dan keteladanan di masyarakat melalui kapasitas tokoh adat, tokoh agama, dan tokoh masyarakat. Karena mereka dapat bertindak sebagai key person (tokoh kunci), yang tidak hanya memahami nilai-nilai itu tetapi dapat mengedukasi di lingkungan sosial. 

Tabel 3 

Strategi Pengembangan Model Pendidikan Karakter 

Melalui Penguatan Kapasitas Toda, Toga, dan Tomas 


No 

Indikator Tokoh 

Pola Pengembangan 

Indikator Nilai 



Tokoh Adat 

Identifikasi tokoh adat panutan, integritas/ kewibawaan, moralitas dalam ritual budaya, komitmen pelestarian nilai budaya, dsb. 

Religius, jujur, mandiri, 





Tokoh Agama 

Pengajian/ceramah, TPA, 

pembinaan remaja mesjid, mereduksi ajaran agama yang bidah dan animisme 

Religius, jujur, toleransi, disiplin, bersahabat/ komunikatif 



Tokoh Masyarakat 

Kepemimpinan kharismatik, kemampuan pemecahan masalah, integritas/ ketokohan, dsb 

Kerja keras, jujur, kreatif, mandiri, demokrartis 


Sumber: Data Primer diolah dan Dinalisis. 

Berdasarkan tabel 3, menunjukkan bahwa peran tokoh adat, tokoh agama, dan tokoh masyarakat cukup signifikan sebagai lembaga informal dalam mensosialisasikan nilai-nilai karakter yang berbasis budaya dan kearifan lokal suku Tolaki. Status sebagai putobu, tolea, pabitara, toono motuo, anakia, o guru, dan sebagainya merupakan figur dan tokoh yang selama ini banyak mensosialisasikan nilai kebenaran, akhalakul qarimah, moralitas, nilai kebersamaan, modal sosial, solidaritas sosial, dan sebagainya. 

Dalam posisi sebagai tokoh adat, maka tak jarang muncul pertanyaan, siapa yang patut kita tokohkan?, karena banyak yang mengaku tokoh namun tidak memberikan keteladanan. Idealnya tokoh adat mesti memiliki integritas dan kewibawaan sehingga ketika sedang memimpin serta memediasi suatu acara seremonial dapat menjadi contoh generasi selanjutnya. Hal ini dilihat pada cara berkomunikasi, bernegosiasi, menyelesaikan masalah, keadilan memutuskan sengketa, dan sebagainya. 

Temuan penelitian mengungkapkan bahwa di beberapa wilayah sampel, eksistensi tokoh adat masih sangat dihargai. Posisi mereka selain menjadi juru bicara dalam perkawinan, mediator dalam penyelesaian konflik/perdamaian, membantu kepemimpinan kepala desa, juga tak jarang menjadi dukun (mbuoway), yang dianggap oleh warga dapat menyembuhkan penyakit. Atas dasar itu nilai-nilai karakter yang dapat diambil oleh generasi muda atas, keteladanan tokoh adat seperti nilai kejujuran, religius, dan kemandirian. 

Tokoh agama menjadi aktor penting keberlangsungan norma-norma baik hubungannya dengan aqidah (ketuhanan) maupun hubungannya dengan sesama manusia. Realitas kehidupan masyarakat etnik Tolaki yang mayoritas beragama Islam, menjadikan posisi o’ guru, o’ima, o’kate (guru agama) menjadi signifikan. Merekalah yang senantiasa membumikan sholat lima waktu secara berjamaah di mesjid/mushollah, mengajar anak-anak mengaji, mengajarkan sunnah dan syariah, mendidik mental,mengajarkan rukun iman dan Islam serta mengajarkan hubungan baik sesama manusia. Tokoh agama juga hadir untuk menyelematkan kaumnya dari kepercayaan-kepercayaan animisme, bidah, ritual-ritual yang tidak termaktub dalam quran dan hadis, dan menghindari kekesatan. 

Peran tokoh agama di atas, dapat menjadi rujukan dan anak usia sekolah untuk mengembangkan nilai-nilai karakter seperti religius, toleransi, disiplin, bersahabat/komunikatif. Contoh, dengan mengikuti kebiasaan sholat lima waktu di mesjid dapat mendorong anak untuk berdisplin. 

Selanjutnya peran tokoh masyarakat, umumnya diposisikan sebagai pemimpin informal yang kharismatik. Selain mereka adalah memiliki garis keturunan bangsawan, berpendidikan, mantan pejabat, status kekayaan, pemilik tanah ulayat, dukun; juga memiliki kewibawaan serta sifat-sifat tawadhu, sabar, jujur, adil dalam kehidupan sosial. Temuan penelitian mengungkapkan eksistensi tokoh masyarakat, menjadi kekuatan penyeimbang selain pemimpin formal dalam mendorong partisipasi masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Biasanya mereka dijadikan sebagai tempat untuk meminta saran dan pendapat, menjadi mediator dalam penyelesaian konflik, dan dapat melahirkan ide-ide inovatif bagi pembangunan desa. Atas dasar itu, maka nilai-nilai karakter yang dapat dielaborasi oleh generasi muda Tolaki dari keteladanan tokoh masyarakat, seperti nilai kejujuran, kemandirian, demokratis, dan kerja keras. 

- Model Penerapan Media dan Komunikasi Simbolik 

Model penerapan media dan komunikasi simbolik dapat menjadi salah satu wahana dalam mensosialisasikan nilai-nilai pendidikan karakter pada diri anak. Hal ini disadari, atas keprihatinan kita begitu banyaknya generasi yang melakukan perilaku menyimpang karena pengaruh akses media luar yang cenderung liberal, hedonis, materialisme, dan sebagainya. 

Solusinya adalah media seperti koran, TV, radio dan berbagai konten elektronik lainya dapat merubah paradigma penyiaran yang lebih seimbang untuk menayangkan dan memberitakan produk budaya daerah yang bernilai kearifan lokal, seperti tarian lulo, tari lariangi, musik bambu, permainan anak tradisional, festifal mombesara, lomba moanggo, lomba sua-sua, dan sebagainya. 

Model lain yang digunakan adalah melalui komunikasi simbolik, yang dapat digunakan oleh guru, untuk mensosialisasikan nilai-nilai kearifan lokal sebagai salah satu media pembelajaran. Menjadikan ruang kelas/belajar dengan simbol-simbol gambar seperti kalosara, laika mbuu, tarian-tarian khas Tolaki , anyam-anyaman dan sebagainya merupakan meliu untuk mengingatkan serta mengedukasi anak pentingnya menghayati dan memiliki warisan leluhur mereka. Karena simbol-simbol tersebut, jika dipahami dengan seksama, akan merefleksikan nilai-nilai karakter nenek moyang seperti kerja keras, mandiri, disiplin, kreatif, dan bertanggung jawab. 

Selanjutnya guru mata pelajaran juga dapat melalukan kegiatan tindakan kelas dengan melibatkan anak didik dalam proses pembelajaran untuk secara langsung mengenali sekaligus mempraktekkan nilai-nilai budaya daerahnya, seperti praktek tarian lulo, tarian mondotambe, tarian lariangi, lagu wulele sanggula, keterampilan menganyam khas tradisi Tolaki, produk makanan olahan dari sagu, irama gambus, dan sebagainya. 

Strategi komunikasi simbolik lainnya adalah intensitas melaksanakan pagelaran-pagelaran budaya secara rutin yang diinisiasi oleh Pemerintah bersama masyarakat. festifal tarian lulo yang telah memperoleh rekor MURI dan festifal tiolu maulu merupakan bukti adanya kesadaran stakeholder akan kebesaran budaya suku Tolaki. Namun demikian kegiatannya harus selalu ditingkatkan secara kualitas dan kuantitas, agar elaborasi nilai-nilai karaktrer bagi generasi muda dapat tetap terjaga. Selain itu memasang spanduk, baliho, dan iklan lainnya tentang pentingnya mencintai budaya lokal dapat menjadi salah satu pilihan komunikasi simbolik selain model komunikasi lainnya. 



- Model Penguatan Kelembagaan Formal Melalui Government dan Institusi Sekolah 

Model penguatan kelembagaan formal mendorong peran dan komitmen pemerintah yang tidak hanya bertindak sebagai service provider yakni menyediakan pelayanan bagi masyarakat; akan tetapi juga menjadi fasilitator dan kolaborator untuk tumbuhnya keswadayaan dan inisiatif warga secara mandiri. 

Temuan penelitian mengungkapkan bahwa eksistensi kelembagaan pemerintah di Kabupaten Konawe, memposisikan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan serta Dinas Parawisata dan Pemuda Olahraga sebagai pilar penting dalam pembangunan karakter yang berbasis budaya dan nilai-nilai kearifan lokal. Namun peran kedua insitusi tersebut belum maksimal, karena Dinas Pendidikan dan Kebudayaan lebih fokus pada pembangunan pendidikan, melalui peningkatan mutu sekolah, peningkatan kualitas tenaga pendidik, peningkatan fasilitas pendidikan. Sementara Dinas Pemuda, Olahraga dan Parawisata; lebif fokus pada pengembangan olahraga dan kepemudaan sehingga alokasi dan perhatian pada pembangunan parawisata kurang memadai. Padahal pembangunan parawisata menjadi salah satu pilar untuk pengembangan budaya dan kearifan lokal daerah yang dapat menarik kunjungan wisatawan. 

Terdapat sejumlah tawaran yang mesti dilakukan dalam mengembangkan nilai-nilai kearifan lokal berbasis budaya dan kearifan lokal suku Tolaki, melalui model penguatan kelembagaan formal Pemerinah dan sekolah antara lain: 

1. Pemerintah Daerah melalui instansi terkait intens melakukan kegiatan festifal budaya seni, yang tidak hanya melibatkan masyarakat pemilik local genius; namun mengikutsertakan etnis lain yang telah melakukan asimilasi, akulturasi, dan amalgamasi budaya dalam jangka waktu yang cukup lama. 

2. Konstruksi dan rekonstruksi tata kelola lembaga kebudayaan dan kesenian dengan melibatkan pemerintah sebagai inisiator dan fasilitator. Contohnya adalah, mendorong tumbuhkembangnya sanggar seni budaya di setiap desa/kelurahan dan kecamatan, sehingga dapat melahirkan karakter generasi muda yang mencintai dan menghargai budayanya dari kepunahan dan ketertinggalan dengan kebudayaan lainnya. 

3. Sekolah sebagai institusi pendidikan formal paling utama menjadi motor penggerak pola/strategi pembelajaran yang mensinergikan nilai-nilai karakter yang bersifat universal dengan nilai-nilai karaker berbasis budaya lokal suku Tolaki. Pendidikan muatan lokal yang diajarkan mulai jenjang pendidikan TK, SD, SMP hingga SMU menjadi bukti bahwa masyarakat dan seluruh elemen masih membutuhkan nilai-nilai lokalitas untuk eksistensi kehidupan mereka. 



Kesimpulan 

strategi pengembangan model pendidikan karakter berbasis budaya dan kearifan lokal masyarakat suku tolaki di kabupaten konawe; melahirkan lima model yakni: (1) Model sosialisasi dan pewarisan nilai-nilai sosial budaya yang menekankan pada peran agen yakni keluarga, kelompok, dan masyarakat dengan pola pengembangan imitasi dan sugesti, ekslusivitas dan inklusivitas norma serta keberlangsungan norma-norma universal. Indikator nilai karakter yang dapat diperoleh melalui budaya tabe, kohanu, merou, sapaan inggomiu, prinsip hidup samaturu, teporombu, mepokoaso, dan kalosara sebagai media pemersatu; (2) Model pelembagaan budaya dan tradisi, menekankan pada tingkatan pelembagaan yakni lembaga adat kabupaten, kecamatan, dan desa/kelurahan; dengan pola pengembangan musyawarah adat, seminar/simposium adat, festifal budaya, lomba kesenian tradisional, tradisi mombesara, penyelesaian konflik dengan upacara mosehe, dan sebagainya; (3) Model penguatan kapasitas peran tokoh adat/budaya, tokoh agama, dan tokoh masyarakat, menunut pola pengembangan melalui identifikasi tokoh, integritas tokoh, moralitas dalam ritual/pelayanan, kepemimpinan kharismatik, kemampuan pemecahan masalah, dan sebagainya; (4) Model penerapan media dan komunikasi simbolik, memposisikan pentingnya fungsi dan peran media sebagai wahana sosialisasi melalui TV, radio, koran, dan konten media lainnya untuk menginformasikan berbagai produk dan kesenian daerah khas suku Tolaki, seperti tarian lulo, lagu wulele sanggula, tari lariangi, sua-sua, musik mambu, tari mondotambe, sinonggi, dan sebagainya; (5) Model penguatan kelembagaan formal melalui government dan insitusi sekolah, menunut peran Pemda sebagai fasilitator dan kolaborator terjaganya warisan budaya dan nilai-nilai kearifan lokal melalu kebijakan dan perlindungan; termasuk mendorong peran institusi sekolah melalui pembelajaran nilai-nilai karakter yang bermuatan lokal. 







DAFTAR PUSTAKA 

Battishtich.2008. Teaching Strategies fo the Social Studies. New York: Longman. 

Hadisaputra, 2010. Mengembangkan Karakter Peserta Didik Berbasis Kearifan Lokal Melalui Pembelajaran di Sekolah. Jurnal Pendidikan Sosiologi dan Humaniora, Vol. 3, No. 2, Oktober 2010 

Dick, Walter and Carey Lou. 1985. The Systematic Design of Instruction, 2nd Edition, Glenview,Illionis: Scott, Foresman and Company. 

Endang Ekowarni. 2010. “Pengembangan nilai-nilai luhur budi pekerti sebagai karakter bangsa”. Diambil dari http://belanegarari.wordpress.com

Giska, 2013. Strategi dan Kebijakan Pembelajaran Pendidikan Karakter Berbasis Budaya Lokal. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 

Joice, Bruce & Weill Marsha. 1980. Models of Teaching, Fifth Edition. USA: Allyn and Bacon A Simon & Scuster Company. 

Muslich Masnur. 2011. Pendidikan Karakter, Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional. Jakarta: PT. Bumi Aksara. 

Puskur, Rahmat 2010. Membangun Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal. Bandung: Adi Cita Karya Nusa. 

Sukmadinata. 1988. Implementasi Pendidikan Budi Pekerti dalam Keterpaduan Pembelajaran. Makalah. 

Suwito, 2008. Rasionalitas dan Aktualitas Kearifan Lokal Sebagai Basis Pendidikan Karakter. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 17, No. 6, November 2011

0 Comments for "MODEL PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS BUDAYA DAN KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT SUKU TOLAKI DI KABUPATEN KONAWE "

Silanhkan di Komentar