INTEGRASI TRADISI LISAN PADA PEMBELAJARAN SEJARAH DALAM KOMUNITAS TOLAKI

Admin | |

INTEGRASI TRADISI LISAN PADA PEMBELAJARAN SEJARAH 

DALAM KOMUNITAS TOLAKI 



Oleh: 

ASWATI M. 

DISAMPAIKAN PADA SEMINAR NASIONAL 

YANG DISELENGGARAKAN MASYARAKAT SEJARAWAN INDONESIA (MSI) KERJASAMA DENGAN 

JURUSAN ILMU SEJARAH FIB UHO 

PADA TANGGAL 7 OKTOBER 2017 

DI HOTEL IMPERIAL KENDARI 






A. PENDAHULUAN 

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat membawa dampak yang sangat besar terhadap generasi muda. Sumber daya manusia Indonesia masih belum mencerminkan cita-cita pendidikan yang diharapkan. Melalui media informasi telah mampu membangun opini masyarakat dalam batas-batas tertentu dan membentuk pandangan masyarakat seperti gaya hidup yang menyebabkan lunturnya nilai-nilai lokalitas yang dimiliki bangsa kita yang menimbulkan krisis kemanusiaan. Akhir-akhir ini, semakin banyak ditemukan kasus seperti, keserakahan dan ketidakjujuran, tindak kekerasan, kebiasaan hura-hura, tawuran antar sekolah, mempraktekkan pergaulan bebas, menggunakan narkoba, minum minuman keras, melakukan tindak kriminal seperti perkosaan, pembunuhan, pencurian, perampokan, bunuh diri dan masih banyak lagi kasus-kasus yang menjurus pada rusaknya mental generasi muda, yang tanpa malu dipertontonkan di hadapan kita. 

Atas dasar inilah pendidikan di Indonesia perlu direkonstruksi ulang agar dapat menghasilkan generasi muda yang berkualitas dan siap menghadapi dunia masa depan yang penuh dengan problema dan tantangan, serta dapat menghasilkan lulusan yang memiliki karakter mulia, yaitu memiliki kepandaian sekaligus kecerdasan, memiliki kreativitas tinggi sekaligus sopan santun dalam berkomunikasi serta memiliki kejujuran dan kedisiplinan serta tanggung jawab yang tinggi. Pendidikan diharapkan mampu membentuk karakter (character building) sehingga dapat berpartisipasi dalam pembangunan tanpa meninggalkan nilai-nilai karakter mulia. 

Kurikulum baru 2013 yang telah disosialisasikan dan mulai dilaksanakan pada tahun 2016 memiliki spirit dasar penguatan pendidikan karakter bagi para peserta didik. Kurikulum yang menjadi sokoguru pendidikan dinilai memiliki relevansi kuat demi tujuan pendidikan yang ditargetkan. Pembinaan akhlak atau karakter sudah menjadi tanggung jawab setiap umat yang dimulai dari tanggung jawab terhadap dirinya lalu keluarganya, kemudian di sekolah. Pendidikan karakter dalam keluarga menjadi tanggung jawab penuh pemimpin keluarga di mana seorang ayah mendidik anak sejak anak mulai mengenal lingkungan hingga dewasa. Pendidikan karakter di sekolah tidak hanya tanggung jawab guru mata pelajaran tertentu, misalnya guru IPS, tetapi menjadi tanggung jawab semua guru dan pengelola sekolah. Sekolah dapat menjadi wahana utama untuk menanamkan pengertian tentang nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal. 

Diantara inovasi pendidikan karakter yang dapat diterapkan di sekolah adalah mengintegrasikan pendidikan karakter dalam semua mata pelajaran yang ada, baik pemuatan nilai-nilai ke dalam substansi maupun melalui pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang memfasilitasi dipraktekkannya nilai-nilai karakter pada setiap aktivitas pembelajaran di dalam dan di luar kelas (Marzuki, 2015 :6-7). 

Penggalian dan pelestarian tradisi lisan yang mengandung nilai-nilai kearifan lokal kini menjadi isu utama pendidikan. Kejenuhan manusia pada ideologi global menyebabkan manusia mencari keunikan-keunikan yang bersifat natural, orang mulai kembali ke masa lalu mencari nilai-nilai lokalitas yang bermakna dan original yang dikenal dengan tradisi lisan. 

Tradisi lisan adalah berbagai pengetahuan dan adat kebiasaaan yang secara turun temurun disampaikan secara lisan tidak hanya berisi cerita rakyat, seperti mite, sage atau legenda, tetapi tradisi lisan diartikan sebagai segala wacana yang diucapkan meliputi: kesusastraan lisan, teknologi tradisional, kesenian, hukum adat dan lain-lain. Dengan demikian tradisi lisan menyangkut segala hal yang berhubungan dengan sastra, bahasa, sejarah, biografi dan berbagai pengetahuan serta jenis kesenian lain yang disampaikan dari mulut ke mulut. Tradisi lisan sebagai pesan-pesan verbal yang merupakan kalimat-kalimat laporan dari masa lampau yang melampaui masa kini. Pesan-pesan itu berupa pesan lisan yang diucapkan, dinyanyikan atau disebutkan hanya dengan alat musik. Pesan atau nasehat para leluhur dilestarikan dengan cara menjaga nasihat tersebut melalui ingatan kolektif anggota masyarakat dan kemudian disampaikan secara lisan turun temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya. 

Tadisi lisan mengandung nilai-nilai positif yang dapat diterapkan dalam menjalani kehidupan bermasyarakat dan bernegara, karena pada hakekatnya tradisi lisan hadir di tengah-tengah masyarakat tradisional untuk menjaga dan memelihara Indonesia dari berbagai aspek kehidupan, sebab di dalamnya mengandung pesan-pesan moral, kepercayaan, norma, sistem sosial serta nilai pendidikan. 

Salah satu tujuan pendidikan sejarah adalah sebagai media pelestarian budaya. Oleh karena itu dalam kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) terdapat beberapa Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang memberikan ruang untuk memasukkan muatan lokal dalam penyampaian materi. Ruang inilah yang harus dimanfaatkan guru sejarah untuk menanamkan nilai-nilai yang dapat membentuk karakter siswa, menumbuhkan perasaan patriotisme dan nasionalisme, serta nilai-nilai pendidikan. Hal ini dapat dijumpai pada tradisi lisan suku Tolaki berupa petuah-petuah, kisah, cerita kepahlawanan, dongeng, taenango, nyanyian-nyanyian rakyat, mitologi, pantun, teka-teki dan puisi. 

B. TRADISI LISAN SUKU TOLAKI SEBAGAI SUMBER BELAJAR SEJARAH 

Para sejarawan sepakat bahwa sumber sejarah terdiri dari tiga kategori sumber yakni sumber lisan, sumber tertulis dan sumber artefak atau visual atau benda. Pembagian sumber sejarah selain dari segi waktu, juga berdasarkan pada bentuk atau bahannya. Menurut G.J. Renier, 1997 :101-102) sumber sejarah dibedakan menjadi tiga bagian yaitu: Pertama, sumber imaterial (abstrak) yakni sesuatu yang masih hidup dalam masyarakat, seperti: adat, norma, etika, tradisi, legenda, dan sebagainya kehadirannya berfungsi untuk menyampaikan pesannya tanpa konsultasi/jalur formal. Kedua, sumber material (empirik) yakni merupakan obyek-obyek atau bukti berupa benda purbakala dari kegiatan manusia yang hidup pada masa lalu, ada benda material tertulis (prasasti) dan tidak tertulis (dolmen, menhir dan sebagainya) yang dapat dipahami dengan menggunakan keahlian khusus). Ketiga Sumber tertulis, yakni bukti dari setiap kegiatan manusia yang lebih mengarah pada sumber berupa dokumen (arsip). 

Sumber lisan dapat pula dibagi dua yakni tradisi lisan (Oral tradition) yakni cerita tentang hal tertentu yang diturunkan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tradisi lisan biasanya mencakup semua aspek kehidupan dari satu komunitas di masa lalu yang merupakan budaya lisan, tujuannya adalah untuk mengungkapkan apa yang terjadi di masa lampau (historical tradition) dan sekedar kesenangan dalam mengungkapkan kebijakan lisan, kearifan atau cerita mengenai masa lampau (literary tradition) dan sejarah lisan (oral history) dapat berupa: mite, sage dan legenda (Morisson, 1998 :2-3). 

Di antara berbagai sumber sejarah, tradisi lisan memiliki sebuah tempat yang istimewa. Tradisi lisan adalah pesan, tetapi ia adalah pesan yang tidak tertulis. Pemeliharaan pesan ini merupakan tugas generasi ke generasi secara beriringan. Hal-hal kuno ada pada hari ini, tradisi lisan adalah dokumen dari masa kini karena ia diceritakan pada masa kini. Namun ia juga mengandung sebuah pesan dari masa lalu, karena pada saat yang sama ia juga merupakan sebuah ungkapan dari masa lalu (Vansina, 2014 ) 

Tradisi lisan dapat pula berupa ungkapan-ungkapan atau pun pesan-pesan moral yang dianggap suci oleh masyarakat pendukungnya yang sarat dengan nilai-nilai, ajaran, petuah yang bermakna dalam kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa manusia dalam menjalani kehidupannya sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh adat sejak lahir, tumbuh dewasa, kemudian kawin, hingga meninggal. 

Mengapa tradisi lisan penting sebab jika menulis sejarah hanya mengandalkan sumber tertulis maka tidak akan ada sejarah awal kehidupan manusia. Maka untuk menulis tentang kehidupan manusia di masa lalu dibutuhkn jejak masa lalu manusia, sebab untuk mengetahui kehidupan awal manusia belum ada sumber tertulis karena masyarakat belum mengenal tulisan, yang ada hanya cerita dari mulut ke mulut. Dan sumber berupa benda bekas yang ditinggalkan seperti peralatan dari batu, kerang dan gua-gua prasejarah yang di dalamnya biasanya ditemukan tulang belulang manusia maupun hewan. Kehidupan manusia pada masa prasejarah hanya dapat diketahui melalui jejak yang ditinggalkannya. 

Dalam kamus bahasa Indonesia dijelaskan kata “jejak” mengandung dua pengertian: (1) bekas tapak kaki atau sesuatu yang tertinggal di tanah dan sebagainya dan (2) bekas yang tertinggal sebagai akibat dari perbuatan seseorang kata kunci keduanya adalah jejak yang bermakna: (a) sesuatu barang yang sudah terpakai, (b) tanda yang melekat karena sesuatu sebab sebelumnya, (c) sesuatu yang tertinggal sebagai sisa. Jadi apapun bentuknya, sesuatu yang ada karena tindakan manusia in the past time merupakan jejak (Rahman Hamid, 2011 :15) 

Sumber sejarah terdiri dari dua yakni sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer adalah sumber sejarah yang belum ada campur tangan orang atau penulis yakni benda material terkait dengan peristiwa tertentu yang hadir apa adanya. Demikian pula kisah sejarah (history as told) yang disampaikan para pelakunya belum ada penambahan ataupun pengurangan, sifat informasinya masih berasal dari tangan pertama merupakan jejak masa lalu. Sedangkan sumber sekunder sudah ada campur tangan peneliti maupun penulis sejarah. Sumber seperti itu dapat berupa buku-buku, hasil penelitian, jurnal, artikel, karya ilmiah dan sebagainya. (Rahman Hamid, 2011 :17) 

Suku Tolaki telah lama mendiami daratan Tenggara pulau Sulawesi. Pemukiman pertama mereka berada di hulu sungai Konaweeha yakni rombongan yang melalui daratan Mori dan Bungku bagian
Timur laut Suawesi, sedangkan rombongan lain melului danau Towuti dan terus ke arah selatan. Kedua rombongan ini bertemu di Rahambuu, setelah tinggal beberapa lama lalu rombongan tadi terbagi dua satu rombongan melanjutkan perjalanan melewati gunung Watukila sampai kemudian menetap di suatu tempat yang disebut Lambo, Laloeha dan Silea yang kemudian menamakan diri orang Mekongga. Sedangkan yang satu rombongan melanjutkan perjalanan mengikuti aliran sungai Konaweeha dan tiba di suatu tempat yang disebut Andolaki sampai mereka tiba di suatu tempat yang mereka namakan Unaaha yakni suatu wilayah yang penuh tumbuhan padang alang-alang dan memanfaatkan sungai Konaweeha sebagai sumber kehidupannya dengan mata pencaharian sebagai petani. Di padang alang-alang inilah suku Tolaki berkembang biak dan menyebarkan wilayah pemukiman mereka dengan cara menempati daerah yang subur untuk berladang, berburu, beternak, dan selanjutnya menamakan diri orang Tolaki Konawe. 

Keberadaan suku Tolaki di Konawe dan Mekongga diketahui berdasarkan tradisi lisan yang menceritrakan tentang kedatangan mereka seperti cerita Oheo, dan Anawai Ngguluri, bahwa orang Tolaki itu turun dari langit dengan menggunakan seutas tali., cerita Onggabo yang menyelamatkan rakyat Konawe dari kepunahan akibat serangan biawak raksasa dan kerbau berkepala dua. Onggabo kemudian menurunkan raja-raja di Konawe.(Tarimana, 1993). Kedua cerita tersebut mengandung nilai pendidikan, perjuangan, budi pekerti, sosial dan nilai kepahlawanan. 

Di tanah Mekongga juga berkembang cerita tentang awal munculnya kerajaan Mekongga yang bermula dari situasi di wonua Sorume yang menakutkan akibat serangan Kongga yang mengganggu masyarakat, tiba-tiba muncul Larumbalangi sebagai juru selamat yang membebaskan penduduk dari serangan Kongga. Larumbalangi kemudian diangkat menjadi raja dan wilayah yang berhasil diselamatkan membentuk satu kerajaan yaitu kerajaan Mekongga. Cerita yang sama juga berkembang di tanah Konawe dikisahkan tentang konflik tiga kerajaan yakni Padangguni, Besulutu dan Wawolesea. Tiba-tiba datang seorang putri menyelamatkan ketiga kerajaan tersebut lalu disepakati mengangkat putri tadi yang diberi nama Wekoila sebagai Raja pertama di kerajaan Konawe. Kedua tokoh tersebut ternyata bersaudara anak dari Sawerigading yang menyelamatkan penduduk dari kepunahan. Orang Tolaki menamakan dirinya To Lahianga (orang dari langit) Istilah langit yakni kerajaan langit yakni Cina” (Tarimana, 1993 :51). 

Menurut Orang Tolaki di Konawe dan Mekongga, Sawerigading mempunyai tujuh putra yang kemudian menjadi raja di tujuh negeri yaitu Goa, Bone, Konawe, Tarinate, Mandar, Luwu dan Wolio. Tentang hubungan orang Tolaki dengan daerah lainnya di Sulawesi berkembang suatu cerita bahwa Sawerigading diibaratkan seekor ayam (manu rasa wulaa) yang dipotong-potong menjadi tujuh bagian sebagaimana diungkapan dalam bahasa Tolaki” Uluno o Goa (kepalanya Goa), Worokono o Bone (lehernya Bone), Wotoluno Konawe (Tubuhnya Konawe), Karena Tarinate (kakinya Ternate), Ponduno Mandara (paruhnya Mandar), Panino o Luwu (sayapnya Luwu), Huleno Wolio (hatinya Wolio) (Tarimana, 1993 :64 dan Zuhdi, 2014 :244). Ayam jantan keemasan diumpamakan adalah simbol watak dan kepribadian dari tiap suku bangsa ini. 

Selain cerita rakyat, suku Tolaki di Konawe maupun di Mekongga (Kolaka) memiliki sejumlah kearifan lokal yang di dalamnya mengandung banyak nilai-nilai budaya yang sangat tinggi, yang diwariskan secara turun temurun baik bentuk tradisi lisan maupun sejarah lisan. Para orang tua atau yang dituakan diberi kepercayaan oleh masyarakat untuk memelihara dan menjaga tradisi tersebut dan berusaha mewariskan kepada generasi berikutnya, dengan menyampaikan petuah-petuah yang berisi pesan-pesan moral. Proses pewarisannya adalah pada saat berkumpul pada suatu acara ritual yang melibatkan orang tua dan anak-anak. Budaya tersebut sampai saat ini masih terjaga berupa tradisi dan ritual yang mengandung pesan-pesan moral seperti upacara daur hidup, barsanji dan manggilo, serta beberapa cerita rakyat yang dapat membentuk karakter masyarakat. 

Salah satu tradisi lisan suku Tolaki yang di dalamnya memiliki nilai-nilai budaya yang sangat tinggi yang biasanya disampaikan secara lisan adalah Kalosara, yang penggunaannya sering kali disaksikan pada upacara perkawinan, maupun upacara penyambutan tamu agung. Namun belum banyak yang tahu bahwa Kalo merupakan perwujudan dari karakter orang Tolaki di Konawe dan Mekongga. Makna yang terkandung dalam Kalo yaitu: pengetahuan tentang nilai moral, etika, tata cara bergaul, dan cara menghormati pemimpin (orang yang dituakan), 

Kalo adalah falsafah hidup atau jati diri suku Tolaki yang terangkum dalam filosofi “Inae Kosara ie pinesara, inae lia sara ie pinekasara” artinya siapa menghargai adat maka akan dihargai, dan siapa tidak menghargai adat maka akan dikasari. Di dalam filosofi Kalo tergambar bahwa suku Tolaki mencintai perdamaian, persatuan, saling menghargai tanpa membedakan golongan, ras, suku dan agama. Kalosara ini mulai digunakan pada masa pemerintahan Mokole pertama Wekoila sebagai sarana dalam mengatur tatanan kehidupan di kerajaan Konawe sekitar abad ke-15. Kalo adalah pandangan hidup suku Tolaki di Konawe dan Mekongga. 

Ciri yang terkandung dalam Kalo adalah penetapan nilai, norma, etika, kepercayaan, adat istiadat, aturan-aturan khusus dan adanya sistem hukum dalam masyarakat yang sudah berlaku dari dulu hingga sekarang yang disebut Sara Owoseno Tolaki atau Sara Mbuuno Tolaki. Jadi Kalo dalam kebudayaan Tolaki sangat luas ruang lingkupnya yang digolongkan kedalam lima cabang O’Sara yakni (1) Sara Wonua atau adat pokok dalam sistem pemerintahan (2) Sara Mbedulu yakni adat pokok dalam hubungan kekeluargaan, (3) Sara Meombu yakni adat pokok dalam aktifitas agama dan kepercayaan, (4) Sara Mandarahi yakni adat pokok dalam pekerjaan yang berhubungan dengan keterampilan dan keahlian, dan (5) Sara Mondau, mombopaho, mombakani, melambu, dumahu, meoti-oti yaitu adat pokok dalam bidang ekonomi, seperti adat menanam padi, bercocok tanam, menangkap ikan baik di darat maupun di laut“ (Tarimana, 1993 :22-23). Inilah lima cabang O’Sara yang diwujudkan dalam bentuk Kalosara sebagai simbol hukum adat pokok suku Tolaki yang mendiami daratan Tenggara pulau Sulawesi. 

Dalam hubungan antar anggota masyarakat terdapat unsur-unsur falsafah, di mana Kalo dijadikan sebagai pegangan dalam menjalani kehidupan sehari-hari yakni kehati-hatian (menombo) dan prinsip penuh pertimbangan (meropo). Dalam kehidupan sosial masyarakat suku Tolaki harus berpegang pada tujuh sumber hukum adat Tolaki yaitu : (1) O’Sapa, yakni sesuatu yang tidak boleh dilanggar karena dapat menimbulkan konflik sehingga muncul berbagai aturan di dalamnya, (2) O’Wua, (buah) yakni aturan tentang berbagai kewajiban yang harus dilakukan dalam hubungannya dengan sesama manusia seperti kewajiban suami istri, anak dan kerabat yang disebut Saramberapua. (3) O’Lawi sebagai suatu kebijakan bahwa dalam kegiatan sehari-hari harus ada kebijaksanaan misalnya dalam pembagian harta warisan harus adil. (4) O’Liwi adalah pesan-pesan atau petuah-petuah yang berkaitan dengan kehidupan yakni harus rendah hati (merou), berhati-hati (menombo) penuh pertimbangan (meropo), menghargai orang lain (mombokulaloi). Aturan tersebut jika dilanggar akan mendapat kualat. (5) Kukua atau Hohowi, yakni aturan misalnya untuk memilih seorang pemimpin harus mempertimbangkan asal usul keturunannya. (6) Saasara atau tatacara yakni aturan tentang berbagai hal dalam kehidupan misalnya: tata cara peletakan adat, tutur kata, dan aturan tentang materal adat. (7) Kohanu (harga diri) yakni aturan untuk mempertahankan harga diri dan bagaimana menghargai orang lain (Basaula Tamburaka, 23 Juli 2016). Ketujuh aturan hidup yang telah dijelaskan di atas disampaikan secara lisan dari mulut ke mulut. 

Terkait dengan makna yang terkandung dalam Kalo tersebut, Suku Tolaki telah menetapkan falsafah hidup yang merupakan penjabaran dari budaya Kalosara yakni: 

1. Medulu mbenao (satu dalam jiwa) diaplikasikan dalam bentuk mombeka mee-meeriako (saling cinta mencintai) dan mombeka piapiaraako (saling menjaga atau memelihara). 

2. Medulu Mbonaa (satu dalam kehendak/jiwa) diaplikasikan dalam bentuk ; Mombeka pona-ponaaako (saling menghargai pendapat), Mombeka pehapehawaako (saling mengingatkan), Mombeka peira-irangaako (saling saran menyarankan) 

3. Medulu mboehe (satu dalam kehendak/cita-cita). Diaplikasikan dalam bentuk ; Mombeka sudo sudoako (saling topang menopang), mombeka tulu tulungiako (saling tolong menolong), mombeka tamaiako (saling memberi dan menerima), mombeka alo aloako (saling ambil mengambil satu tenaga) dan mombeka kai kaiako (saling menikmati makanan) mombeka powe powehi ako (saling beri memberi dan menerima (Tarimana, 1993). 

Menurut Abdurrauf Tarimana bahwa Kalo pada tingkat nilai budaya adalah sistem nilai budaya yang berfungsi mewujudkan ide-ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat suku Tolaki yakni : medulu mepokoaso (persatuan dan kesatuan), ate pute penao moroha (kesucian dan keadilan), dan morini mbuumbundi monapa mbuu ndawaro (kemakmuran dan kesejahtraan) yang diaplikasikan penggunaan kalo dalam setiap kegiatan sosial, ekonomi maupun politik dan keagamaan (1993 :284). 

Tradisi lisan berupa Taenango (Sastra Lisan), yaitu epos cerita kepahlawanan yang secara tradisional dituturkan dalam bentuk lisan. Panjang bait yang terdapat dalam taenango biasanya mencapai ribuan bait dan biasanya dilantunkan semalam suntuk atau tergantung kemampuan pendengarnya. Pada awalnya dilantunkan selama 7 malam. Menurut oral tradition Taenango lahir sekitar abad ke-16 sezaman dengan masa pemerintahan Raja Wekoila. Taenango adalah nyanyian kepahlawanan didalamnya mengisahkan tentang pusat kerajaan hingga masa kejayaannya, serta berisi tentang adat perkawinan suku Tolaki. 

Adapun makna yang terkandung dalam Taenango adalah irama dan kata-katanya yang bersifat menggugah semangat dan membangkitkan jiwa patriotisme. Juga menggambarkan suatu tipe kepemimpinan yang mana seorang pemimpin harus memiliki sifat berani dan bertanggungjawab serta arif dalam memimpin. Dalam Taenango juga tergambar cinta tanah air, gambaran sifat kepahlawanan dan keberanian, seperti yang digambarkan pada tokoh Langgai Moriana yang rela berkorban demi keluarga, cerita Tombarano Wuta di dalam cerita menggambarkan perjuangan seorang kesatria bernama To Ulu dara Hanga. Demikian pula dalam cerita Haluoleo, tergambar nilai kepatriotan dan cinta tanah air serta sifat kerjasama dalam menghadapi tantangan dari luar kerajaan. 

Suku Tolaki juga memiliki sastra daerah yang bukan cerita yang di dalamnya mengandung nilai-nilai pengetahuan yang sangat tinggi yang terdiri dari: 

(1) nyanyian rakyat seperti : 

(a) Huhu (lagu untuk menidurkan anak), biasa dinyanyikan seorang ibu ketika menidurkan anaknya, isinya permohonan agar si anak tidak menyulitkan orang tuanya. (b) Suasua (nyanyian) bentuk lirik dalam suasua dapat dilihat dari jenis suasua yakni: (1) sarano tolaki, (2) pepakawia (3) peparamesia dan (4) pepokoburua. (c) O’anggo (syair yang menggambarkan rasa kekaguman terhadap seorang pemimpin, O Anggo berisi puji-pujian, sanjungan dan rasa kekaguman terhada[ seorang pemimpin. Dalam Anggo tergambar pembentukan watak/mental dan semangat kepahlawanan. Biasanya dilantunkan pada upacara-upacara adat.(d) kabia yakni nyanyian atau lagu-lagu percintaan baik yang bertema kebahagiaan maupun kesedihan (Rahmawati, 2010 :8). 

(2) Kinoho (Puisi lama suku Tolaki) biasanya diadakan pada acara-acara adat seperti perkawinan, pesta rakyat atau acara-acara adat lainnya. Kinoho terdiri dari beberapa jenis yakni: Kinoho mbesadalo, Kinoho agama, Kinoho sara, Kinoho singgu. (3) Singguru (teka-teki), dan (4) O’doa (mantra) (Rahmawati, 2010 :8-20) 

Sebagai simbol persatuan suku Tolaki memiliki tradisi/Budaya Samaturu, yang diwariskan sejak nenek moyang sampai sekarang secara turun temurun, Medulu ronga mepokoaso (Budaya tolong menolong dan saling bantu membantu). Budaya ini telah berlangsung secara turun temurun di mana suku Tolaki dalam menghadapi permasalahan soial budaya, ekonomi, maupun politik pemerintahan. 

Jenis-jenis tarian yang juga mengandung nilai religious, kepahlawanan, persatuan, penghargaan terhadap pemerintah adalah tarian Lulo, Lariangi, Umoara, dan tari Mondotambe. 



C. TRADISI LISAN DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH 

Dapatkah tradisi lisan dijadikan sebagai sumber belajar sejarah? tradisi lisan yang mana yang mengandung nilai sejarah? dan bagaimana mengajarkan tradisi lisan. Mungkin pertanyaan ini yang muncul di benak kita. Mengingat materi sejarah sudah tersusun rapih dalam kurikulum sejarah Indonesia yang dimulai dari zaman prasejarah hingga zaman reformasi, adakah ruang untuk tradisi lisan dalam pembelajaran sejarah? 

Salah satu tujuan pendidikan sejarah adalah sebagai media pelestarian budaya. Oleh karena itu dalam kurikulum tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) terdapat beberapa standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang memberikan ruang untuk memasukkan sejarah lokal dalam penyampaian materi, namun waktu yang diberikan untuk mata pelajaran sejarah sangat terbatas sehingga materi muatan lokal tidak maksimal bahkan tidak tersentuh sama sekali. 

Pembelajaran sejarah adalah proses internalisasi nlai-nilai peristiwa masa lalu, berupa asal usul, silsilah, pengalaman kolektif dan keteladanan pelaku sejarah. Pembelajaran itu dirancang untuk membentuk pribadi yang arif dan bijaksana, karena itu pembelajaran sejarah menuntut desain yang akan menghasilkan kualitas output yang meliputi pemahaman peristiwa sejarah bangsa, meneladani kearifan, dan sikap bijaksana pelaku sejarah. 

Meneladani kearifan dan sikap bijaksana adalah proses pembentukan karakter dalam pembelajaran sejarah yang akan diperoleh melalui kegiatan pendalaman peristiwa sejarah, termasuk didalamnya proses relasi-relasi sosial, sosial ekonomi dan sosial politik antar pelaku dan kelompok masyarakat. Dengan melalui pendalaman akan mendorong siswa/peserta didik memahami perilaku saling menghormati, bersaudara, kesamaan sosial, melindungi, bersikap adil dan mendorong masyarakat untuk berpendidikan (Garvey, 2015 :ix) 

Integrasi tradisi lisan dalam pembelajaran sejarah merupakan jawaban dari apa yang dikemukakan di atas, mengingat tradisi lisan pada suku Tolaki sebagaimana digambarkan dalam Kalo berisi pesan-pesan moral yang mengandung nilai-nilai sosial ekonomi, sosial budaya dan sosial politik, cerita Oheo dan Anawai Ngguluri, Larumbalangi dan Wekoila yang mengandung nilai pengorbanan, patriotisme, pendidikan, dan nilai sosial. Jika dihubungkan dengan pendekatan kurikulum yang bersifat integratif beberapa mata pelajaran menjadi satu kelompok dalam Ilmu Pengetahuan Sosial maka melalui pembelajaran bermuatan lokal dengan memasukkan didalamnya tradisi lisan nampaknya integrasi itu akan lebih mudah diwujudkan. Mata pelajaran sejarah dengan geografi, ekonomi dan sosial budaya atau Antropologi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kelompok mata pelajaran tersebut saling kait mengkait dan menjelma dalam kehidupan nyata dalam masyarakat secara keseluruhan. 

Dengan masuknya muatan lokal dalam pembelajaran sejarah dengan sendirinya akan terjadi proses pewarisan nilai. Pada hakekatnya pelajaran sejarah adalah pelajaran tentang nilai (value) bukan hanya menghafal tahun, atau sekedar menghapal tokoh, tetapi lebih kepada penanaman nilai dari periswa masa lalu. Pendidikan sejarah berfungsi sebagai pembentuk karakter pada siswa, yang dapat menumbuhkan nasionalisme. Untuk membentuk karakter siswa harus digali dari nilai-nilai lokal. Pelajaran seharusnya bisa mengoptimalkan pembelajaran sejarah yang berbasis pada penanaman nilai-nilai lokal, dengan menggunakan pembelajaran kontekstual dengan mengaitkan antara materi dengan kondisi lingkungan siswa. 

Pembelajaran bermuatan sejarah lokal mengharuskan guru sejarah berhubungan dengan sumber-sumber sejarah baik sumber tertulis maupun sumber lisan dan sumber artefak berupa dokumen/arsip, buku, notulen, tradisi lisan (oral tradition), seperti cerita rakyat, nyanyian maupun sastra daerah, sejarah lisan (oral history), bangunan-bangunan seperti candi, mesjid, gereja, dan lain-lain. Guru harus memahami sumber-sumber lokal daerahnya di mana tempat mengajarnya. Kendalanya adalah guru mengalami kesulitan dalam menerapkan muatan lokal dengan materi dalam kurikulum yang sudah disusun dengan baik yang dimulai dari masa prasejarah hingga masa reformasi. Guru mengalami dilema dalam mengembangkan pembelajaran sejarah bermuatan lokal karena secara otomatis membutuhkan waktu yang cukup banyak, baik persiapan maupun pelaksanaan kegiatan pembelajaran dan evaluasi. 

Pembelajaran sejarah di sekolah menengah atau pada jenjang lainnya biasanya berisi kegiatan membaca buku Sejarah. Akan tetapi perlu diketahui bahwa membaca buku saja tidak cukup dalam mempelajari tentang sejarah. Kata History dalam bahasa Yunani berarti penyelidikan atau pencarian kebenaran. Jadi dalam mempelajari sejarah yang terpenting bukanlah pencarian kebenaran tentang peristiwa di masa lalu melalui buku yang ditulis para sejarawan maupun pemerhati sejarah dan budaya. Namun melalui peninggalan yang memiliki nilai sejarah seperti bangunan, monumen, artefak, karya sastra, surat pribadi, memo pribadi, dan nyanyian maupun tarian, semua itu dapat digunakan sebagai sumber belajar dan pembelajaran di kelas. 

Sumber-sumber sejarah utama dapat digunakan untuk pembelajaran terstruktur di kelas maupun tugas lapangan. Jika tujuan guru tidak hanya membuat siswa mempelajari tentang masa lalu tetapi juga bagaimana mempelajarinya, perlu adanya tugas yang melibatkan elemen penelitian sejarah yang nyata. Tugas sejarawan tidak hanya membuat narasi atau menceritrakan peristiwa bersejarah namun juga menjelaskannya. Narasi dianggap penting dalam penulisan sejarah untuk memunculkan sebuah cerita. Seorang penulis membutuhkan imajinasi struktural karena ia harus mengambil kesimpulan dari sumber-sumber yang tidak berhubungan langsung, selain itu harus memiliki kemampuan menyusun dan mengekspresikan karena narasi haruslah meyakinkan pembaca dan diri sendiri. 

Sumber-sumber sejarah lokal khususnya tradisi lisan masih terbatas yang diungkap secara tertulis, kalaupun ada belum secara spesifik sehingga guru sejarah mengalami kesulitan untuk melakukan klasifikasi antara sejarah, budaya, dan tradisi, belum dapat memisahkan mana sejarah dan mana tradisi lisan. Karakter bangsa harus digali dari nilai-nilai lokal yang ketika terakumulasi akan menunjukkan jatidiri bangsa. Oleh karena itu pihak sekolah terutama melalui pelajaran sejarah harus bisa mengoptimalkan pembelajaran yang berbasis penanaman nilai-nilai lokal, dengan memasukkan tradisi lisan dalam pembelajaran sejarah. 

Langkah yang dapat diambil oleh guru sejarah dalam mengajar adalah kemampuan untuk merancang ruang kelas sebagai sarana untuk merekonstruksi drama yang berisi kejadian-kejadian di masa lalu serta menghidupkan tokoh-tokoh yang sekarang hanya ada dalam catatan sejarah secara imajinatif. Selain itu, guru sejarah juga harus mampu membantu siswa mengembangkan pemahaman mereka tentang masa lalu melalui hal-hal yang mereka lihat di masa kini yang kadang-kadang bukan hal yang menyenangkan (Garvey, 2015 :18). 

Seorang guru yang berusaha menarik minat siswa terhadap mata pelajarannya harus merancang sebuah metode yang bervariasi dan kegiatan yang beragam bukan hanya mengandalkan bermacam-macam tema yang tercantum dalam silabus. Guru sejarah semestinya mampu mengatur siswa dalam belajar dengan memanfaatkan sumber-sumber potensial seperti sumber primer maupun sumber sekunder. 

D. PENUTUP 

Setiap daerah di Indonesia memiliki tradisi lisan yang beragam sebagai tambang kekayaan budaya bangsa yang perlu dibina dan dikembangkan secara sunguh-sungguh. Kemajuan Iptek membawa perubahan pesat dalam kehidupan masyarakat khususnya generasi muda sebagai pelanjut cita-cita perjuangan bangsa baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif. Pengaruh negatif yang nampak adalah sebagian masyarakat tidak lagi mengenal jenis-jenis tradisi lisan yang dimiliki daerahnya yang berdampak pada semakin memudarnya pemaknaan tentang nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi lisan. Pada hal jika dikaji lebih dalam tradisi lisan sarat dengan nilai antara lain nilai moral, etika pergaulan, perjuangan, religious, pengetahuan yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita. Tradisi lisan pada komunitas suku Tolaki seperti cerita rakyat, dongeng, puisi, teka-teki, nyanyian, tarian, adat. Pemahaman dan penanaman nilai-nilai dalam tradisi lisan dapat membentuk karakter siswa. 

Integrasi tradisi lisan pada pembelajaran sejarah merupakan salah satu media untuk melestarikan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam tradisi lisan. Pembelajaran sejarah adalah salah satu solusi agar tradisi lisan yang dimiliki bangsa Indonesia tidak hilang ditelan kemajuan teknologi. Seorang guru sejarah diharapkan mempunyai kemampuan untuk mentransfer nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi lisan, dengan memanfaatkan ruang kelas sebagai sarana untuk merekonstruksi drama dengan menghidupkan tokoh-tokoh yang ada dalam cerita. Dengan demikian belajar sejarah bukanlah sesuatu yang membosankan. 



E. DAFTAR PUSTAKA 

Abdul Rahman Hamid, 2011. Pengantar Ilmu Sejarah.Yogyakarta: Penerbit Ombak 

Basrin Melamba. 2016. Khazana Budaya Tolaki. Denpasar : Pustaka Larasan. 

Brian Garvey & Mary Krug. 2015. Model-Model Pembelajaran Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak. 

Jan Vansina. 2014. Tradisi Lisan Sebagai Sejarah. Yogyakarta. Penerbit Ombak. 

Laporan Hasil Penelitian. Hukum Adat Suku Tolaki. Kantor Penelitian dan Pengembangan (LITBANG) Kabupaten Konawe. Kendari : 2010 

Morisson, James H, A Global Perspecctive of Oral History in Southeast Asia”; Theory and Method. Singapure: National Archives of Singapore-Institute of Southeast Asian Studies, 1988. 

Marzuki. 2015. Pendidikan Karakter Islam. Jakarta: AMZAH. 

Renier, G,J. 1997. Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah (Diterjemahkan oleh Muin Umar). Jakarta : Pustaka Pelajar. 

Susanto Zuhdi, 2014. Nasionalisme, Laut dan Sejarah. Jakarta.: Komunitas Bambu. 

Syaifuddin Gani, dkk. 2010. Bunga Rampai Karya Sastra Baru Tolaki (Kinoho). Jakarta : Keduber Jerman 

Rahmawati, dkk. 2010. Inventarisasi Sastra Daerah Sulawesi Tenggara. Kendari : Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara. 

Tarimana, Abdurrauf. 1993. Kebudayaan Tolaki, Seri Etnografi Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 

0 Comments for " INTEGRASI TRADISI LISAN PADA PEMBELAJARAN SEJARAH DALAM KOMUNITAS TOLAKI "

Silanhkan di Komentar