Revitalisasi Warisan Nilai Budaya Buton dalam Filosofi Sara pataanguna (adat yang empat) dalam praktik kehidupan sosial budaya

Admin | |


Revitalisasi Warisan Nilai Budaya Buton dalam Filosofi Sara pataanguna (adat yang empat) dalam praktik kehidupan sosial budaya
Oleh: Dr. La Ode Dirman,M.Si.






Warisan nilai Budaya Buton dalam bentuk Falsafah yang disebut Sara pataanguna (adat yang empat) yang pernah tumbuh subur di Era kesultanan Buton tampaknya kini di Era kontemporer terancam menjadi slogan semata dalam praktek bermasyarakat dan bernegara. Untuk merevitalisasi nilai-nilai itu dalam setiap pribadi orang Buton, tentunya melalui proses belajar kebudayaan sendiri melalui sosialisasi dan internalisasi dan enkultrasi, karena hal itu tidak secara otomatis tertanam dalam alam pikiran setiap individu. Individu sejak kecil menanamkan perasaan, hasrat, nafsu serta emosi yang diperlukan sepanjang hidupnya. Melalui proses belajar mengenai pola-pola tindakan dalam hubungan pergaulan dengan segala macam individu yang mempunyai aneka ragam kedudukan dan peran. Dalam proses ini seseorang akan mempelajari segala macam sistem norma, aturan yang ada dalam adat istiadat yang hidup dalam masyarakatnya yang kemudian menjadi pola mantap. Ideologi norma adat kesultanan Buton mewarisi dari generasi kegenerasi hingga sekarang, dalam perkembangannya mengalami ancaman pewarisan. Norma adat Buton yang dinamakan sara pataanguna mengandung nilai kearifan local sangat dibutuhkan untuk mempertahankan keberadaanya dalam setiap aktifitas individu. karena itu perlunya merivitalisasi nilai budaya konstruktif tersebut yang pada era reformasi ini yang sangat bermafaat untuk kepentingan pembangunan, baik untuk kepentingan individu sendiri maupun maupun kolektifitas masyarakat pendukungnya khususnya dalam bidang pembangunan sosial, budaya, politik dan ekonomi. Strategi penanaman nilai tersebut diatas memang membutuhkan keterlibatan semua pihak. Disadari pembentukan kepribadian individu menghadapi tiga lingkungan, lingkungan keluarga,lingkungan persekolahan dan lingkungan masyarakat. Siapa yang bertanggung jawab ketiga lingkungan tersebut?, orang Tua, guru atau elite birokrasi?. Keluarga memang sebagai peletak dasar pembentuka kepribadian anak. Siapa yang memberi memberi contoh kepada siapa? Pengaruh globalisasi, kapitalisme semakin mengacam nilai-nilai sarapatanguna. Praktiknya sudah banyak berada diluar diri kita, padalah itu identtas kita,ideologi kita, seharusnya nilai sarapataanguna merekat dalam kepribadian kita.



Kata Kunci : Ideologi, Sosialisasi, Stereotip dan kearifan local.





A. PENDAHULUAN


Buton bermula dalam rentang perjalanan panjang sejarah manusia Buton, pada abad XIII. Terjadinya sebuah peristiwa komitmen sakti (bukan penaklukan) yang dapat menciptakan rasa aman dalam persatuan yaitu sebuah falsafah yang disebut dengan Sara pataanguna (adat istiadat yang empat). Jasa dua kubu kekuatan yang dianggap sebagai “dewa pembawa adat” yakni Simalui dan dan Spanjonga dengan wakilnya masing-masing Sijawangkati dan Sitamanajo. Figur kedua tokoh tersebut diatas bertahan sampai masa berahirnya era kesultanan. Hal tersebut sebagai indikator bahwa filsafat ini telah membuktikan dirinya sebagai yang superorganik. Sebuah filosofis religius sekaligus dalam praktek berindividu, berkolektif dalam wadah negara tradisional masa itu. Di zaman kesultnan dalam suasana perkembangan kesufian itu rupanya, lahirlah martabat tujuh yang menjadi UUD tertulis yang pertama Kesultanan Buton. Nama-nama tersebut berkaitan dengan tujuh fase penciptaan alam menurut pandangan kaum sufi. Akan tetapi pengaruh sufi yang “dalam” itu rupanya tidak mampu meredam ciri khas ke-Wolio-an. Hal ini ketika di dalam kitab murtabat tujuh kita temukan juga "Sara pataanguna," sementara ia adalah produk budaya di masa pra islam. Undang Undang murtabat tujuh mudah dipahami dan dilaksanakan dalam bentuk tingkah laku. tafsirannya adalah sebagai berikut.


Norma poangka-angka taka harus merupakan sikap semua insan Wolio terutama para penguasa. Mereka di tuntut untuk menghargai dan memberi ganjaran kepada rakyatnya berkarya dan berprestasi dalam bidang-bidang: pembelaan negeri, pengalaman ilmu yang di miliki, sikap kedermawan, dan keterampilan dalam arsitektur dan teknologi terapan.


Pomaa-maasiaka adalah norma yang harus menumbuhkan kecintaan terhadap sesama manusia, terutama cinta penguasa terhadap rakyatnya.


Popia-popira adalah sikap yang membiasakan diri untuk menjaga dan memelihara semua sarana kepentingan umum.


Pomae-mae-aka meliputi kesadaran setiap manusia untuk menempatkan dirinya sesuai fungsi dan jabatannya, menghormati orang yang lebih tua usianya atau lebih tinggi jabatannya. serta menyayangi orang yang lebih muda usia atau lebih rendah jabatannya.


Disempurnakan dengan falsafah perju-angan islam yakni : ayinda yindamo arataa somana karo, Ayinda Yindamo karo Somanamo lipu, ayinda yindamo lipu somanamo Sara, ayinda yindamo Sara somanamo agama.(Zuhdi,2003; Muchir, 2003)


Akan tetapi keempat norma itu akan binasa oleh empat perkara yaitu "sabara gau", "lempagi", "pulu mosala dan mingku mosala" dan terakhir "pebula" tafsirannya sebagai berikut : (1) Sabara gau adalah upaya licik untuk mengubah milik bersama menjadi milik pribadi. Lempagi adalah perbuatan menarik kembali amanat secara diam-diam dari tangan siteramanat. (2) Pulu mosala adala tindakan melontarkan kata-kata keji kepada seseorang atau kata-kata yang menyombongkan dri sendiri. (3) mingku mosala adalah penganiayaan ter-hadap oarang lain. (4) Pebula berarti perzinaan,penipuan dan upaya penga-mbilan harta benda milik negara untuk kepentingan pribadi. Selanjutnya dari bab ke dua sampai bab ke delapan, kita tidak lagi menjumpai isi murtabat tujuh yang merupakan konsensus kecuali merupakan akhlak dan tuntunan kepada penguasa dan rakyat, serta hak dan kewajiban para aparat Kesultanan. Karena itu berkesimpulan bahwa era penyusunan murtabat tujuh merupakan era di mana proses persekutuan hidup sudah demikian mapannya sehingga fungsi masyarakat dalam bermasyarakat tinggallah sebagai parsitipator belaka.






B. POBLEMATIKA






Dipenghujung berakhirnya kesultanan, terinjeksinya racun kolonial hingga masa revolusi dan masa post revolusi. Simultan bersamaan memboncengnya komunisme/PKI di Buton mengobrak abrik nilai–nilai persatuan. Indikasi mulai merebaknya potensi konflik antara bangsawan kaomu versus walaka yang justru dimanfaatkan oleh aktor yang “sok membangun” membonceng dan membawa cap PKI untuk ditancapkan dibelakang pada banyak insan Wolio dan sara pataanguna terancam menjadi sebuah slogan semata. Untuk itu, permasalahannya diformulasikan sebagai berikut.






1. Bagaimana bentuk sosialisassi, enkultrasi nilai-nilai budaya Sara Pataanguna ?


2. Bagaimana model penerapan nilai sarapatanguna kedalam hidupnya sosial kini dan prospek kedepan masyarakat Buton ?






C. KONDISI, POTENSI DAN ANALISIS MANUSIA BUTON DEWASA INI


Penyakit-penyakit pembangunan yang sekarang eksis membias adalah sebagai akumulasi dari perubahan era dan sistem politik yang dikemukakan diatas. Orla masih ada secercah harapan dengan sikap nasionalisme untuk mengusir penjajahan ( Sara Patanguna masih berkibar). Orba hingga orde reformasi benar-benar terjadi penurunan secara drastis kepatutan nilai solidaritas baik terhadap pemimpin maupun terhadap sesama masyarakat. Orba mencampur adukan konsep politik dan dengan konsep ekonomi yakni konsep kesejahteraan masyarakat tergulingkan oleh sebuah paradigma ekonomi yang mengutamakan kemakmuran individu, maka lahirlah penindasan oleh koruptor-koruptor terselebung yang terlindungi oleh sebuah kekuasaan (Foucault,1977) atoriter menakutkan selama 32 tahun Orba memerintah. Apa yang tampak dalam situasi sosial kini masa pembangunan adalah manifestasi dari noda–noda hitam tersebut diatas yang kini kian menebal yang harus dibebankan pada pemerintahan reformasi dan era reformasi terjadilah sebuah krisis multidimensional dan terjadilah sebuah slogan yang dimanfaatkan elite politik dalam sebuah pertarungan,


Reformasi birokrasi pemerintahan kabupaten Buton, simultan bersaman meningkat jumlah penduduk, kebutuhan meningkat dibarengi nilai barang dipasaran meningkat tidak terkendali, hadirnya eksodus Ambon sejak tahun 2000, meledaknya usia kerja yang terkategori 10 tahun keatas, yang sesungguhnya belum masuk kategori usia produktif, tetapi sudah diproduktifkan oleh kekuarga yang umumnya berada dibawah garis kemiskinan. Khususnya usia 15 tahun kebawah adalah populasi tertinggi penduduk Baubau dan Buton. Dengan demikian, anak usia tidak produktif menjadi beban ekonomi rumah tangga yang terpaksa pula diproduktifkan oleh orang tua dari anak tersebut. Semuanya menambah sejumlah daftar masalah sosial ekonomi.


Hal tersebut pula sebagai indikator semakin banyaknya anak-anak putus sekolah, sementara orang tua yang sebagian besar hidup disektor pertanian tradisional, yang pengetahuan dan ketrampilan tradisional tergusur oleh kekuatan teknologi modern meng-akibatkan munculnya masalah sosial baru. Rendahnya peluang kerja khusus sektor informal menyebabkan tingginya tingkat pengangguran. Meningkatnya penduduk kota Baubau akibat migrasi eksodus Ambon dan Timor Letse berjumlah 7726 KK atau 44508 jiwa eksodus Ambon dan 1003 KK yang tersebar di daerah Kota Baubau dan Kabupaten Buton (tidak termasuk Kabupaten pemekaran). Untuk penduduk Kota Bau-Bau berjumlah 142.576 jiwa (BPS Kota Baubau, 2013).


Kondisi tersebut diatas timbulnya variasi-variasi gaya hidup individu di masyarakat. Masyarakat modern menurut Rogers (Danandjaya, 1988) adalah proses dimana individu-individu berganti dari cara hidup tradisional kecara hidup yang kompleks , kegaya hidup dengan teknologi lebih maju dan cepat berubah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa masyarakat modern adalah masyarakat yang telah mengalami transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Wertheim (Scott, 1993:88) mengemukakan bahwa ada banyak nilai sentral dari kultur elit yang secara simbolik ditolak atau diputarbalikan. Perlawanan simbolik seperti ini terungkap dalam berbagai cara: dalam institusi local, dalam arti keagaman dan praktik ritual, dalam cerita rakyat dan mitos, legenda, dalam pertunjukan hiburan populer dan dalam bahasa.






D. Diskusi


Konflik dan damai silih berganti, peledakan penduduk kota Bau-Bau berimplikasi penataan ruang kota khususnya masalah tanah dan pemukiman sekaligus pemanfaatan air bersih. Kehadiran eksodus sebagai implikasi melonjaknya harga tanah mencapai jutaan rupiah /m3. Hal tersebut berakibat pemukiman penduduk tak layak huni yang tercatat 630 KK Untuk Kota Baubau. Pemisahan kota dan pemindahan Kabupaten Buton di Kecamatan Pasar Wajo serta munculnya anak kabupaten, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana, Kabupaten Buton Selatan dan Buton Tengah. Semuanya itu, juga berkaitan dengan masalah penduduk yang merasa pribumi, merasa sebagai empunya wilayah adalah indikator rawan konflik wilayah Buton.


Potensi manusia berkaitan tingkat pendidikan, ketrampilan, kreatif inovatif .harusnya digiring bersamaan dengan potensi-potensi tradisional yang konstruktif masih bertahan dalam kehidupan masyarakat desa sebagai petani atau nelayan yang dapat dijadikan sebagai modal dasar pembangunan seperti kearifan lokal, kepatuhan terhadap tokoh informal, disiplin murni terhadap pekerjaan khususnya nelayan, tahan penderitaan akibat budaya kemiskinan. Contoh kebiasan kerja ibu rumah tangga di Binongko Wakatobi membuat parang dengan pengasilan 5000 rp / hari namun bisa menghidupi anak-anaknya, sementara sang anak tabah menunggu sang ibu mencari nafkah), sang ayah berlayar hingga berbulan-bulan lamanya. Suatu hal tidak masuk akal jika kita menganalisis dibelakang meja, tetapi kenyataan dilapangan demikian adanya.


Pertambahan penduduk meningkat, mata penca pencaharian semakin beraneka, pengaruh teknologi dari luar, kesejateraan rakyat semakin tenggelam dan munculnya orang orang miskin baru berbanding sejajar munculnya orang orang kaya baru. Yang tentunya menambah maraknya krisis multidimensional.


Sekali lagi, peran antara strata tradisional Buton,yaitu Kaomu, Walaka dan Papara ( Schoorl, 1980) pada era reformasi simultan bersamaan dengan stratifikasi masa kini mengkuti yaitu elite birokrasi, nelayan, petani, buruh (Tarimana, 1989) ) untuk duduk satu meja bersama merevitalisasi norma sarapatanguna, baik praktik terhadap diri sendiri maupun hubungan sosial terhadap sesama. Contoh secara historikal stratifikasi tradisional dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bahwa gelar bangsawan Kaomu sebuah predikat yang diberikan oleh Walaka Siolimbona dan karena itu walaka dianggap sebagai orang tua adat yang mmberikan penghargaan kepada kaomu yang sekarang dperkuat dengan sebuah gelar didepan nama yaitu " La Ode". Meskipun masa kesultanan gelar ini tidak dicantumkan langsung, kecuali Sultan terlantik. Dengan demikian ada rasionalitas tersembunyi sebagai indikator kemampuan manusia Buton pada masa itu menciptakan aturan tersebut. Pertama, rasionalisasi pada sistem pembagian tugas, senada ungkapan seorang filsuf Yunani, Plato sebuah peemerintahan terdiri kepala (reasan), Badan (appetative) dan rakyat atau seorang antropolog Redclife Brown (Koentjaraningrat,1980) memandang masyarakat dianalogikan sebagai struktur tubuh manusia. Analogi ini senada dengan cara berpikir manusia Buton yakni kepala atau pemimpin disebut Kaomu, Badan legislatif Walaka dan Papara adalah kaki atau rakyat


Era kontemporer konflik internal antara stratifikasi sosial tradisional di Buton misalnya kecenderungan kekuatan politik tertentu justru memanfaatkan ketersinggungan historis yaitu bentuk stereotipe antara walaka dan Kaomu , mengacu istilah Gramsi ( 1977) menghegemoni dengan cara kekerasan terhadap golongan papara (rakyat). Padahal Walaka dalam struktur pemerintahan Kesultanan adalah sebagai Badan legislatif dan yudikatif, artinya posisi walaka berada dibawah garis struktur kaomu , tetapi ia juga terposisi secara adat sebagai pencipta, penegak adat, pemelihara adat. Sebagai badan yudikatif, penegak adat pernah dibuktikan ketika menghukum Sultan Mardan Ali karena melanggar adat yang sangsinya ditenggelamkan kelaut oleh syara' Buton. Selanjutnya konflik antara kelompok kerabat ini, ketika pelanggaran keduanya menjadi kurang terkendali secara adat, yang masing-masing mengklaim kebenarannya. Masa sekarang ini memberikan interpretasi beda berkaitan dengan masalah perkawinan utamanya generasi yang kurang paham rentang sejarah adat perkawinan Buton, terkadang berkonotasi kesewenang-wenangan kaomu (menganggap diri Superirior) bahwa tidak dibenarkan seorang pria walaka kawin dengan wanita kaomu, karena berarti seorang bapak (walaka) mengawini anaknya (Kaomu). apalagi terhadap golongan rakyat (papara) terstigmatisasi sebagai warisan budak. Jika terjadi sebuah perkawinan antara kedua elite terhadap papara, biasanya digunakan jalan pintas untuk melakukan perkawinan diluar daerah Buton atau perkawinan popalaisaka (kawin lari). Namun, semunya dapat dinetralisir oleh kemampun ekonomi sebagaimana dikemukakan Tarimana (1989) sebagai bentuk munculnya stratifikasi sosial masa kini yakni lapisan atas golongan terpelajar, pengusaha, cendekiawan, elite birokrasi. Dengan demikian, kondisi era kontemporer sekarang ini stratifikasi tadisional simultan bersamaan dengan stratifikasi masa kini. Adanya konflik dapat dinetralisir modal kedamaian sosial Mengenai konflik peradaban masa kerajaan,Dirman (2008) mengacu alur pikiran Rumadi (2002:41-45) sebagai berikut.


“Kita tidak boleh begitu saja menerima sebagai warisan konflik. Bukan mene-ruskan konflik tetapi mencairkan konflik”. Kita harus melihat sebagai bentuk tanggung jawab zaman, streotipe etnik dilokalisir sebagai problem gene-rasi tertentu. Problem politik, ekonomi maupun kebudayaan dibungkus dengan fanatisme keagamaan”.





Pewarisan konflik dicegah dan dicairkan, demikian pula pewarisan tahta pula dicegah. Sebagai contoh sistim perintahan kesultanan Buton,tidak membenarkan adanya ahli waris tahta Kesultanan dan harus melalui pemilihan oleh badan Legislatif Siolimbona. Para calon Sultan berasal dari tiga aliran kelompok kekerabatan yaitu Tanailandi, Tapi-Tapi dan Kumbewaha. Strategi mencegah pewarisan tahta dengan cara sang permasuri tidak boleh melahirkan, oleh karena itu Sarana Wolio, membenarkan Sultan untuk beristri "selir" pada berbagai daerah di Sultra yang mungkin hal tersebut sekaligus sebagai strategi mempersatukan perbedaan pendapat yang mungkin terjadi antara wilayah 72 kadie sebagai satu kekuatan utuh dan terientegrasi


Ditengah bertumpuknya masalah sosial ekonomi, orang Buton tampaknya masih memiliki modal sosial seperti tahan penderitaan, sitem gotong royong seperti pohamba-hamba, potulu-tulungi, kaseise (Dirman, 2007) serta masih tampak pula masih bertahannya lembaga- lembaga informal pada setiap Desa/kelurahan di Kota Baubau. Khususnya krisis kepercayaan adalah penyakit penyakit masyarakat, jika tidak segera diatasi dengan aksi aksi konstruktif aktor pembangunan, ditambah pula masyarakat masih bertahan untuk tidak percaya pada pemimpin kita, meskipun sebatas “teriakan Sarapatanguna” oleh para elitis dengan penuh dengan rekayasa kesadaran. Meskipun bentuk ini sebagai bukti bahwa masih ada niat dalam sanubari kita untuk bersatu secara moral religius


Sebuah integrasi simultan bersamaan konflik elite antara Buton dan Kota Baubau,namun berakhir sebuah kedamaian sosial dari kedua kubu. Artinya, nilai budaya Binci binciki kuli (tenggang rasa) sebagai manifestasi sarapataanguna,meskipun pewarisannya menipis dalam hati sanubari sang pemimpin,namun kembali menunjukan kesaktiannya, artinya filosofi tersebut masih memiliki nilai efektif sebagai senjata para elite politik di wilayah bekas kesultanan Buton






E. PENUTUP






Apabila penerapan sistim nilai dan kepercayaan tidak sesuai dengan realitas sebenarnya yang masih bertahan sampai kini , maka Buton akan terbentuk suatu krisis kebudayaan yang dapat memupuk suatu gerakan reaksi lebih kompleks. Perlawanan tradisional dengan membangkitkan kembali milenarisasi (kecenderungan Buton) suatu kelompok tertindas ingin memiliki ideologi sosial yang khas. Belajar dari nilai -nilai, cara pengorganisasian yang diperankan oleh pendahulu kita seperti pada masa kerajaan sebagai refrensi kita masa kini,dimana kita berhadapan dengan aneka mata pencaharian dan kebutuhan masyarakat Buton. Oleh karena itu untuk kemakmuran dan kesejateraan masyarakat, bagaimana kita perlu memahami sistim pengetahuan dan kepercayaan masyarakat ketika adopsi teknologi modern, apalagi sebagian besar masyarakat Buton hidup dari pertanian tradisional. Sterotipe etnik atau merendahkan etnik lain sebagai bentuk ketersinggungan historis dari kalangan lapis bawah (papara) yang tampaknya masih tumbuh subur dikalangan etnik-etnik di Buton dan Sulawesi Tenggara umumnya. Oleh karena itu alternatif antara mengembalikan perekat hubungan kekerabatan antar etnik yang pernah terjalin sejak masa kerajaan.


Memberdayakan beberapa bentuk kearifan lokal yang masih bertahan di kalangan masyarakat Buton seperti pemberdayaan pengetahuan dan ketrampilan tradisional sebagai roh identitas orang Buton. Karena itu pengetahuan dan kekuasaan orang tua, guru dan elite birokrasi dan elite tradisional untuk memberi contoh terhadap dirinya sendiri, terhadap yang dimanfaatkan oleh individu dalam masyarakat Buton umumnya dan para stakeholder untuk menggerakan dan membangun masyarakat lokal itu sendiri. Lebih lanjut revitalisasi nilai sarapataanguna sebagai warisan leluhur, pertama dibentuk kedalam alam kepribhadian setiap insan Wolio melalui intensitas stakeholders untuk menggerakan ekonomi rakyat seperti,bentuk gotong royong, kaseise, samaturu, pohamba-hamba. Kedua, khususnya nilai moral bagi pembetukan kepribadian anak yang dilakukan sejak dini melalui sosialisasi internalisasi dan pembudayaan mulai tahap keluarga , tingkat persekolahan hingga masyarakat.


























































PUSTAKA






BPS, 2013. Kota Baubau Dalam Angka


Danandjaya, James., 1988. Antropologi Psikologi:Teori metode dan Se-jarah Perkembangannya. Rajawali Press. Jakarta


Dirman, LaOde, dkk. 2007. Sejarah Daerah Sulawesi Tenggara. APBD Provinsi Sulawesi Tenggara. Tidak diterbitkan


------------------------------2008 Strategi Budaya Mengelola Potensi Konflik antar Kelompok dan Etnik Lokal di Kota Baubau. APBD Kota Baubau. Tidak diterbitkan


Foucault, Michel 1977 diciplin and Punish: The birth of the prisson: alih bahasa : alam Seridan. New York : Vintage


Gramsci, Antonio, 1971. Selection From Prison Notebooks. New York: International Publisher.


Koentjaraningrat,1980. Sejarah Atropologi Jilid, I.II. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.


Muchir, L.A. 2003, Sara Pataanguna: Memanusiakan manusia Khalifa-tullah di Bumi Kesulthanan Butuni, Tarafu Butuni. Wolio


Rumadi, 2002, Masyarakat Post-Teologia: Wajah baru Agama dan Demokrasi Indonesia; Perpusta-kaan nasional RI


Scott, James C.(peyunting) 1993. Perlawanan Kaum Tani. Kata Pengantar Sayogyo. Terj. Budi Kusworo dkk.. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia


Schoorl, Pim,2003. Masyarakat, Sejarah Dan Budaya Buton. Terjemahan G. Winaya. Jakarta: Jambatan


Tarimana, Abdurrauf. 1989. Kebudayaan Tolaki : Seri Etnografi Indonesia No. 3 Balai Pustaka.


Zuhdi ,Susanto,2010. Sejarah Buton yang Terabaikan: Labu Rope Labu Wana. Jakarta: PT Raja Grakindo.















































































































































































































0 Comments for "Revitalisasi Warisan Nilai Budaya Buton dalam Filosofi Sara pataanguna (adat yang empat) dalam praktik kehidupan sosial budaya "

Silanhkan di Komentar